Ideologi di Balik Rokokku
Oleh Mohamad Sobary (Budayawan)
Seorang
yang hingga umur 58 th tak pernah merokok, dan tiba-tiba merokok, jelas
bukan karena salah pergaulan. Selama ini tak pernah ada yang salah
dalam pergaulan saya. Para perokok berat di antara kenalan, teman dan
sahabat, maupun anak buah di kantor, tetap menjadi perokok berat dan
saya tak terpengaruh, kecuali merasa sumpek dan panas.
Merokok tidak sehat. Merokok mempengaruhi
kesehatan lingkungan. Merokok mencabik-cabik ekonomi perokok dari
keluarga miskin. Merokok menyebabkan kanker, impotensi, merusak janin,
sudah saya baca dengan sebaik-baiknya dan pesan terselubung agar orang
tak merokok, saya taati. Di sana dengan sendirinya mungkin ada
kebenaran. Jadi saya tak pernah berusaha untuk merasa tak setuju dengan
anggapan-anggapan itu.
Tapi sesudah membaca tulisan Wanda
Hamilton bahwa data yang diklaim sebagai kebenaran oleh para pejuang
anti rokok dianggap tidak sahih, saya mulai terlibat dalam pemikiran
tentang benar-salah di dalamnya. Dan ketika disebutkan bahwa yang
terjadi di tengah gerakan anti rokok itu sebenarnya perang bisnis yang
tidak adil, saya memperkukuh pemikiran mengenai ketidakadilan ini
sebagai bagian dari kekuatan sosial-ekonomi yang patut diperhatikan
lebih seksama. Sikap tidak adil tak bisa dibiarkan begitu saja.
Kemudian ketika Bloomberg Inisiative
mengumumkan bahwa lembaga itu menyeponsori ilmuwan, kaum profesional,
lembaga penelitian, lembaga yang mengamati produk dan kenyamanan hidup
masyarakat yang membelinya, juga, termasuk, menyeponsori lembaga
keagamaan, agar membuat fatwa haram atas rokok, maka jelas bagi saya,
bahwa ada sesuatu tingkah laku yang mencerminkan keserakahan global.
Banyak pihak dipengaruhi dengan duit. Para pejabat di Departemen, tingkat menteri, di bawah menteri, gubernur, bawahannya, bupati atau wali kota dan bawahan mereka, semua menjadi korban yang berbahagia, karena limpahan duit yang tak sedikit jumlahya untuk masing-masing pihak. Mereka menjadi korban kecil, karena harus membuat aturan dan sejumlah larangan merokok, yang mungkin tak sepenuhnya cocok dengan hati nurani.
Tapi apa artinya hati nurani di jaman
edan ini dibanding duit melimpah? Para pejabat itu rela membunuh hati
nurani mereka sendiri demi duit. Dan sayapun makin marah. Kemarahan itu
makin jelas dan makin jelas bentukideologinya. Dengan begitu apa yang
pribadi, bisa dikesampingkan.
Gerakan itu alur rasionya demi kesehatan
lingkungan. Tapi tak tahukah mereka, bahwa di balik logika kesehatan itu
ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis
global di bidang kretek? Kretek kita sangat khas. Dan di negeri orang
bule, kretek kita mengantam telak perdagangan rokok putih mereka. Kretek
unggul. Dan karena itu mereka berhitung bagaimana kretek bisa mereka
caplok.
Djie Sam Su Sampoerna sudah dikuasai
Phlilip Morris. Bentuk sudah dikuasai BAT, yang sejak puluhan tahun lalu
hendak mencaplok kretek kita. Pada mulanya saya bergabung dengan
asosiasi Petani Tembakau (APTI) Jawa Tengah, sebagai penasihat para
pengrusnya. Saya wira wiri ke daerah tiga gunung: Sumbing, Sindoro,
Perahu. Sambil melakukan penelitian, saya juga melakukan advokasi,
membela para petani tadi. (red-Industri kretek yang masih berada di tangan pihak Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Djeruk dari daerah Kudus, Wismilak.)
Tapi persoalan berkembang sangat cepat.
DPR menyusun RUU. Pemerintah menyusun RPP. Intinya hendak membunuh
kretek. Dan petani dipaksa melakukan alih fungsi lahan, untuk bercocok
tanam lain selain tembakau. Ini sudah merupakan kekerasan dan
pelanggaran hak hidup yang luar biasa, karena pengaruh para kapitalis
asing makin besar.
Bagi saya, mereka bukan lagi kapitalis,
melainkan kapitalis yang serakah sekaligus kolonialis dan imperialis.
Kapitalis silahkan saja berebut lahan bisnis dan melakukan perang bisnis
secara fair, terbuka, dengan semangat kompetisi bebas yang dibangggakan
Amerika Serikat. Tapi bukan kompetisi bukan perang dagang yang terjadi.
Semangat kaum penjajah seperti di zaman VOC dulu, lahir kembali dalam
bentuk baru.
Dengan memperalat—atau mungkin
kerjasama—dengan pejabat, aktivis, kaum profesional, ilmuwan dan kaum
rohaniwan yang bekerja di lembaga keagamaan—langkah mereka menjadi makin
kukuh. Dan saya pun makin gigih melakukan perlawanan dengan tulisan.
Sebagai warga negara Indonesia, yang
hidup di sini, makin dan tenteram di sini, relakah saya membiarkan orang
asing berjumpalitan membunuh bisinis bangsa kita sendiri? Saya tidak
rela. Melihat kaum profesional, aktivis, ilmuwan, rohaniwan, teman-teman
saya dijerumuskan ke jurang kehinaan macam itu, haruskah saya diam?
Saya tidak rela.
Tapi apakah dengan begitu saya tak sadar telah membela kapitalis? Saya membela kapitalis Indonesia yang membayar pajak untuk negeri kita, yang memberi lapangan kerja bagi bangsa kita, yang membayar banyak pungutan, dan hitunglah cukai yang enam puluh lima trilliun itu, semua untuk Indonesia. Kalau saya membela mereka, dan melawan kapitalis yang sekaligus kolonialis dan imperialis, apa yang salah?
Tapi apakah dengan begitu saya tak sadar telah membela kapitalis? Saya membela kapitalis Indonesia yang membayar pajak untuk negeri kita, yang memberi lapangan kerja bagi bangsa kita, yang membayar banyak pungutan, dan hitunglah cukai yang enam puluh lima trilliun itu, semua untuk Indonesia. Kalau saya membela mereka, dan melawan kapitalis yang sekaligus kolonialis dan imperialis, apa yang salah?
Saya membela petani. Saya membela
pabrik, dan semuanya demi melawan kolonialis dan imperialias yang
kejam, dan menghancurkan kehidupan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan
Amerika Latin. Efek kolonialisasi dalam jiwa bangsa kita belum sembuh.
Kita masih merasa minder pada bangsa Barat. Kita masih menganggap mereka
suri teladan mulia.
Tak ada kemuliaan bagi penjajah. Negeri kita hancur karena mereka. Kita diadu domba karena duit. Kita bertengkar karena alasan palsu. Keuntungan ada di kaum kolonialis. Dan saya waspada. Ideologi melawan kaum kolonialis dan imperialis menggumpal dalam diri saya.
Tak ada kemuliaan bagi penjajah. Negeri kita hancur karena mereka. Kita diadu domba karena duit. Kita bertengkar karena alasan palsu. Keuntungan ada di kaum kolonialis. Dan saya waspada. Ideologi melawan kaum kolonialis dan imperialis menggumpal dalam diri saya.
Lalu muncullah sebuah penelitian ilmiah
Prof. Sutiman, ahli biologi, dari Universitas Brawijaya, Malang, yang
mengembangkan penelitian bertahun-tahun sebelumnya, yang dilakukan Dr.
Gretha Zahar. Ibu Gretha, ahli fisika yang gigih menolong para penderita
kanker yang tak sembuh di rumah sakit. Di tangan beliau mereka sembuh.
Juga isteri Prof. Sutiman yang menderita kanker payudara.
Maka, sejak itu Prof. Sutiman, ahli
biologi itu lalu melakukan penelitian laboratorium dengan temuan
mengejutkan: bahwa kretek itu sehat. Ibu Gretha memproduksi kretek sehat
itu buat penyembuhan para pasien. Kretek itu disebut Divine Kretek.
Isinya protein, asam amino dan banyak zat bagus lainnya. Asam amino
mengganti sel-sel tubuh yang mati. Membuat kita, yang sudah degeneratif,
menjadi regeneratif lagi.
Dan saya pun merokok pada usia 58 tahun lebih beberapa bulan. Saya merokok karena ideologi yang saya sebutkan di atas.
*Sumber : Oase.Kompas.Com
—————-
Sejarah Rokok Kretek
Alkisah menurut para orang – orang asli
kudus, diriwayatkan rokok kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada
kurun waktu 1870 – 1880 an. Pada mulanya penduduk kudus ini sedang
merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu berusaha menggoleskan minyak
cengkeh tidak berapa lama sakitnya agak reda. Djamari lantas
bereksperimen merajang cengkeh dan melakukan pencampuran dengan bahan
tembakau untuk di lintang atau digulung menjadi sebatang rokok.
Waktu itu melinting sudah menjadi
kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan beberapa modifikasi dengan
mencampur bahan cengkeh. Setelah rutin mengisap atau merokok ciptaan
djamari merasa sakitnya agak reda. Ia lalu menawarkan kepada kerabat
atau tetangganya. Berita ini lantas menyebar bak bom waktu. Permintaan
rokok obat mengalir begitu deras. Djamari melayani order rokok cengkeh.
Lantaran ketika di hisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan
bunyi,”kemeretek,..”. Maka rokok temuannya djamari di kenal dengan rokok
kretek.
Pada mulanya rokok kretek di bungkus
dengan klobot atau daun jagung kering. Rokok kretek ini kian di kenal.
Namun tidak begitu dengan sang maestro penemunya djamari. Ia diketahui
meninggal pada tahun 1890. Siapa dia dan asal usulnya hingga kini masih
belum jelas.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari
menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok
di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908
usahanya resmi terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga”. Bisa dikatakan
langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek
di Indonesia.
Menurut beberapa babad legenda yang
beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun
Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro
Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri
oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan
Sultan Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan
bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum
laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu
Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji
Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah
namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang,
Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini
berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa
tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito
pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang
kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil
berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah,
pedagang rokok klobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada
sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida
di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk
para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang
sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah,
sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak
kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan
menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau
daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh
para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah
Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan
mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha
ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal
Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun
beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6
hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan
rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe),
H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang
Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu
mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per
hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga
pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota
di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda
sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa
pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan
rokoknya ke Bandung dan Jakarta
Jenis Rokok Kretek : Ada
Rokok Kretek non-filter dan dengan filter. Kretek yang non-filter masih
terbagi dari yang tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang
berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan)
tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan
saus cengkeh. Sedangkan kretek dengan filter berisi semacam gabus yang
berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh.
Kretek diproduksi oleh rakyat yang juga
disebut petani tembakau serta petani cengkeh. Kretek bukan rokok, kretek
terbuat dari tembakau dan bunga cengkeh Indonesia, namun rokok hanya
terbuat dari tembakau.
Kretek itu bahannya sama menggunakan
tembakau. Tetapi kretek selain dari tembakau dicampur juga dengan bunga
cengkeh dan saos. Ada juga kretek filter dan ada kretek non filter.
Sedangkan yang bukan kretek adalah rokok putih.
Di dalam buku Membunuh Indonesia,
dikatakan bahwa kretek adalah asli Indonesia dan hanya ada di
Indonesia. Keseluruhan tenaga kerja yang terlibat dalam industri kretek
berjumlah sekitar 30,5 juta orang. Sehingga menjadi penting untuk
pemerintah melihat ini semua. Ketika pemerintah tidak sanggup
mengentaskan jumlah pengangguran yang cukup banyak, maka tidak
seharusnya malah menambah jumlah pengangguran.
(COPAS DARI : http://serbasejarah.wordpress.com/2012/04/16/ideologi-di-balik-rokokku/