Jumat, 25 Mei 2012

BERBAHAYAKAH MEROKOK ITU ????

Ideologi di Balik Rokokku

Oleh Mohamad Sobary (Budayawan)
Seorang yang hingga umur 58 th tak pernah merokok, dan tiba-tiba merokok, jelas bukan karena salah pergaulan. Selama ini tak pernah ada yang salah dalam pergaulan saya. Para perokok berat di antara kenalan, teman dan sahabat, maupun anak buah di kantor, tetap menjadi perokok berat dan saya tak terpengaruh, kecuali merasa sumpek dan panas.
Merokok tidak sehat. Merokok mempengaruhi kesehatan lingkungan. Merokok mencabik-cabik ekonomi perokok dari keluarga miskin. Merokok menyebabkan kanker, impotensi, merusak janin, sudah saya baca dengan sebaik-baiknya dan pesan terselubung agar orang tak merokok, saya taati. Di sana dengan sendirinya mungkin ada kebenaran. Jadi saya tak pernah berusaha untuk merasa tak setuju dengan anggapan-anggapan itu.
Tapi sesudah membaca tulisan Wanda Hamilton bahwa data yang diklaim sebagai kebenaran oleh para pejuang anti rokok dianggap tidak sahih, saya mulai terlibat dalam pemikiran tentang benar-salah di dalamnya. Dan ketika disebutkan bahwa yang terjadi di tengah gerakan anti rokok  itu sebenarnya perang bisnis yang tidak adil, saya memperkukuh pemikiran mengenai ketidakadilan ini sebagai bagian dari kekuatan sosial-ekonomi yang patut diperhatikan lebih seksama. Sikap tidak adil tak bisa dibiarkan begitu saja.
Kemudian ketika Bloomberg Inisiative mengumumkan bahwa lembaga itu menyeponsori ilmuwan, kaum profesional, lembaga penelitian, lembaga yang mengamati produk dan kenyamanan hidup masyarakat yang membelinya, juga, termasuk, menyeponsori lembaga keagamaan, agar membuat fatwa haram atas rokok, maka jelas bagi saya, bahwa ada sesuatu tingkah laku yang mencerminkan keserakahan global.
Banyak pihak dipengaruhi dengan duit. Para pejabat di Departemen, tingkat menteri, di bawah menteri, gubernur, bawahannya, bupati atau wali kota dan bawahan mereka, semua menjadi korban yang berbahagia, karena limpahan duit yang tak sedikit jumlahya untuk masing-masing pihak. Mereka menjadi korban kecil, karena harus membuat aturan dan sejumlah larangan merokok, yang mungkin tak sepenuhnya cocok dengan hati nurani.
Tapi apa artinya hati nurani di jaman edan ini dibanding duit melimpah? Para pejabat itu rela membunuh hati nurani mereka sendiri demi duit. Dan sayapun makin marah. Kemarahan itu makin jelas dan makin jelas bentukideologinya. Dengan begitu apa yang pribadi, bisa dikesampingkan.
Gerakan itu alur rasionya demi kesehatan lingkungan. Tapi tak tahukah mereka, bahwa di balik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek? Kretek kita sangat khas. Dan di negeri orang bule, kretek kita mengantam telak perdagangan rokok putih mereka. Kretek unggul. Dan karena itu mereka berhitung bagaimana kretek bisa mereka caplok.
Djie Sam Su Sampoerna sudah dikuasai Phlilip Morris. Bentuk sudah dikuasai BAT, yang sejak puluhan tahun lalu hendak mencaplok kretek kita.  Pada mulanya saya bergabung dengan asosiasi Petani Tembakau (APTI) Jawa Tengah, sebagai penasihat para pengrusnya. Saya wira wiri ke daerah tiga gunung: Sumbing, Sindoro, Perahu. Sambil melakukan penelitian, saya juga melakukan advokasi, membela para petani tadi. (red-Industri kretek yang masih berada di tangan pihak Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Djeruk dari daerah Kudus, Wismilak.)
Tapi persoalan berkembang sangat cepat. DPR menyusun RUU. Pemerintah menyusun RPP. Intinya hendak membunuh kretek. Dan petani dipaksa melakukan alih fungsi lahan, untuk bercocok tanam lain selain tembakau. Ini sudah  merupakan kekerasan dan pelanggaran hak hidup yang luar biasa, karena pengaruh para kapitalis asing makin besar.
Bagi saya, mereka bukan lagi kapitalis, melainkan kapitalis yang serakah sekaligus kolonialis dan imperialis. Kapitalis silahkan saja berebut lahan bisnis dan melakukan perang bisnis secara fair, terbuka, dengan semangat kompetisi bebas yang dibangggakan Amerika Serikat. Tapi bukan kompetisi bukan perang dagang yang terjadi. Semangat kaum penjajah seperti di zaman VOC dulu, lahir kembali dalam bentuk baru.
Dengan memperalat—atau mungkin kerjasama—dengan  pejabat, aktivis, kaum profesional, ilmuwan dan kaum rohaniwan yang bekerja di lembaga keagamaan—langkah mereka menjadi makin kukuh. Dan saya pun makin gigih melakukan perlawanan dengan tulisan.
Sebagai warga negara Indonesia, yang hidup di sini, makin dan tenteram di sini, relakah saya membiarkan orang asing berjumpalitan membunuh bisinis bangsa kita sendiri? Saya tidak rela. Melihat kaum profesional, aktivis, ilmuwan, rohaniwan, teman-teman saya dijerumuskan ke jurang kehinaan macam itu, haruskah saya diam? Saya tidak rela.
Tapi apakah dengan begitu saya tak sadar telah membela kapitalis? Saya membela kapitalis Indonesia yang membayar pajak untuk negeri kita, yang memberi lapangan kerja bagi bangsa kita, yang membayar banyak pungutan, dan hitunglah cukai yang enam puluh lima trilliun itu, semua untuk Indonesia. Kalau saya membela mereka, dan melawan kapitalis yang sekaligus kolonialis dan imperialis, apa yang salah?
Saya membela petani. Saya membela pabrik,  dan semuanya demi melawan kolonialis dan imperialias yang kejam, dan menghancurkan kehidupan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin. Efek kolonialisasi dalam jiwa bangsa kita belum sembuh. Kita masih merasa minder pada bangsa Barat. Kita masih menganggap mereka suri teladan mulia.
Tak ada kemuliaan bagi penjajah. Negeri kita hancur karena mereka. Kita diadu domba karena duit. Kita bertengkar karena alasan palsu. Keuntungan ada di kaum kolonialis. Dan saya waspada. Ideologi melawan kaum kolonialis dan imperialis menggumpal dalam diri saya.
Lalu muncullah sebuah penelitian ilmiah Prof. Sutiman, ahli biologi,  dari Universitas Brawijaya, Malang, yang mengembangkan penelitian bertahun-tahun sebelumnya, yang dilakukan Dr. Gretha Zahar. Ibu Gretha, ahli fisika yang gigih menolong para penderita kanker yang tak sembuh di rumah sakit. Di tangan beliau mereka sembuh. Juga isteri Prof. Sutiman yang menderita kanker payudara.
Maka, sejak itu  Prof. Sutiman, ahli biologi itu lalu  melakukan penelitian laboratorium dengan temuan mengejutkan: bahwa kretek itu sehat. Ibu Gretha memproduksi kretek sehat itu buat penyembuhan para pasien. Kretek itu disebut Divine Kretek. Isinya protein, asam amino dan banyak zat bagus lainnya. Asam amino mengganti sel-sel tubuh yang mati. Membuat kita, yang sudah degeneratif, menjadi regeneratif lagi.
Dan saya pun merokok pada usia 58 tahun lebih beberapa bulan. Saya merokok karena ideologi yang saya sebutkan di atas.
—————-

Sejarah Rokok Kretek

Alkisah menurut para orang – orang asli kudus, diriwayatkan rokok kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu 1870 – 1880 an. Pada mulanya penduduk kudus ini sedang merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu berusaha menggoleskan minyak cengkeh tidak berapa lama sakitnya agak reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan melakukan pencampuran dengan bahan tembakau untuk di lintang atau digulung menjadi sebatang rokok.
Waktu itu melinting sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan beberapa modifikasi dengan mencampur bahan cengkeh. Setelah rutin mengisap atau merokok ciptaan djamari merasa sakitnya agak reda. Ia lalu menawarkan kepada kerabat atau tetangganya. Berita ini lantas menyebar bak bom waktu. Permintaan rokok obat mengalir begitu deras. Djamari melayani order rokok cengkeh. Lantaran ketika di hisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi,”kemeretek,..”. Maka rokok temuannya djamari di kenal dengan rokok kretek.
Pada mulanya rokok kretek di bungkus dengan klobot atau daun jagung kering. Rokok kretek ini kian di kenal. Namun tidak begitu dengan sang maestro penemunya djamari. Ia diketahui meninggal pada tahun 1890. Siapa dia dan asal usulnya hingga kini masih belum jelas.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga”. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Menurut beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta
Jenis Rokok Kretek : Ada Rokok Kretek non-filter dan dengan filter. Kretek yang non-filter masih terbagi dari yang tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkeh. Sedangkan kretek dengan filter berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh.
Kretek diproduksi oleh rakyat yang juga disebut petani tembakau serta petani cengkeh. Kretek bukan rokok, kretek terbuat dari tembakau dan bunga cengkeh Indonesia, namun rokok hanya terbuat dari tembakau.
Kretek itu bahannya sama menggunakan tembakau. Tetapi kretek selain dari tembakau dicampur juga dengan  bunga cengkeh dan saos. Ada juga kretek filter dan ada kretek non filter. Sedangkan yang bukan kretek adalah rokok putih.
Di dalam buku Membunuh Indonesia, dikatakan bahwa kretek adalah asli Indonesia dan hanya ada di Indonesia. Keseluruhan tenaga kerja yang terlibat dalam industri kretek berjumlah sekitar 30,5 juta orang. Sehingga menjadi penting untuk pemerintah melihat ini semua. Ketika pemerintah tidak sanggup mengentaskan jumlah pengangguran yang cukup banyak, maka tidak seharusnya malah menambah jumlah pengangguran.


(COPAS DARI : http://serbasejarah.wordpress.com/2012/04/16/ideologi-di-balik-rokokku/

1 komentar: