Jumat, 25 Mei 2012

BERBAHAYAKAH MEROKOK ITU ????

Ideologi di Balik Rokokku

Oleh Mohamad Sobary (Budayawan)
Seorang yang hingga umur 58 th tak pernah merokok, dan tiba-tiba merokok, jelas bukan karena salah pergaulan. Selama ini tak pernah ada yang salah dalam pergaulan saya. Para perokok berat di antara kenalan, teman dan sahabat, maupun anak buah di kantor, tetap menjadi perokok berat dan saya tak terpengaruh, kecuali merasa sumpek dan panas.
Merokok tidak sehat. Merokok mempengaruhi kesehatan lingkungan. Merokok mencabik-cabik ekonomi perokok dari keluarga miskin. Merokok menyebabkan kanker, impotensi, merusak janin, sudah saya baca dengan sebaik-baiknya dan pesan terselubung agar orang tak merokok, saya taati. Di sana dengan sendirinya mungkin ada kebenaran. Jadi saya tak pernah berusaha untuk merasa tak setuju dengan anggapan-anggapan itu.
Tapi sesudah membaca tulisan Wanda Hamilton bahwa data yang diklaim sebagai kebenaran oleh para pejuang anti rokok dianggap tidak sahih, saya mulai terlibat dalam pemikiran tentang benar-salah di dalamnya. Dan ketika disebutkan bahwa yang terjadi di tengah gerakan anti rokok  itu sebenarnya perang bisnis yang tidak adil, saya memperkukuh pemikiran mengenai ketidakadilan ini sebagai bagian dari kekuatan sosial-ekonomi yang patut diperhatikan lebih seksama. Sikap tidak adil tak bisa dibiarkan begitu saja.
Kemudian ketika Bloomberg Inisiative mengumumkan bahwa lembaga itu menyeponsori ilmuwan, kaum profesional, lembaga penelitian, lembaga yang mengamati produk dan kenyamanan hidup masyarakat yang membelinya, juga, termasuk, menyeponsori lembaga keagamaan, agar membuat fatwa haram atas rokok, maka jelas bagi saya, bahwa ada sesuatu tingkah laku yang mencerminkan keserakahan global.
Banyak pihak dipengaruhi dengan duit. Para pejabat di Departemen, tingkat menteri, di bawah menteri, gubernur, bawahannya, bupati atau wali kota dan bawahan mereka, semua menjadi korban yang berbahagia, karena limpahan duit yang tak sedikit jumlahya untuk masing-masing pihak. Mereka menjadi korban kecil, karena harus membuat aturan dan sejumlah larangan merokok, yang mungkin tak sepenuhnya cocok dengan hati nurani.
Tapi apa artinya hati nurani di jaman edan ini dibanding duit melimpah? Para pejabat itu rela membunuh hati nurani mereka sendiri demi duit. Dan sayapun makin marah. Kemarahan itu makin jelas dan makin jelas bentukideologinya. Dengan begitu apa yang pribadi, bisa dikesampingkan.
Gerakan itu alur rasionya demi kesehatan lingkungan. Tapi tak tahukah mereka, bahwa di balik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek? Kretek kita sangat khas. Dan di negeri orang bule, kretek kita mengantam telak perdagangan rokok putih mereka. Kretek unggul. Dan karena itu mereka berhitung bagaimana kretek bisa mereka caplok.
Djie Sam Su Sampoerna sudah dikuasai Phlilip Morris. Bentuk sudah dikuasai BAT, yang sejak puluhan tahun lalu hendak mencaplok kretek kita.  Pada mulanya saya bergabung dengan asosiasi Petani Tembakau (APTI) Jawa Tengah, sebagai penasihat para pengrusnya. Saya wira wiri ke daerah tiga gunung: Sumbing, Sindoro, Perahu. Sambil melakukan penelitian, saya juga melakukan advokasi, membela para petani tadi. (red-Industri kretek yang masih berada di tangan pihak Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Djeruk dari daerah Kudus, Wismilak.)
Tapi persoalan berkembang sangat cepat. DPR menyusun RUU. Pemerintah menyusun RPP. Intinya hendak membunuh kretek. Dan petani dipaksa melakukan alih fungsi lahan, untuk bercocok tanam lain selain tembakau. Ini sudah  merupakan kekerasan dan pelanggaran hak hidup yang luar biasa, karena pengaruh para kapitalis asing makin besar.
Bagi saya, mereka bukan lagi kapitalis, melainkan kapitalis yang serakah sekaligus kolonialis dan imperialis. Kapitalis silahkan saja berebut lahan bisnis dan melakukan perang bisnis secara fair, terbuka, dengan semangat kompetisi bebas yang dibangggakan Amerika Serikat. Tapi bukan kompetisi bukan perang dagang yang terjadi. Semangat kaum penjajah seperti di zaman VOC dulu, lahir kembali dalam bentuk baru.
Dengan memperalat—atau mungkin kerjasama—dengan  pejabat, aktivis, kaum profesional, ilmuwan dan kaum rohaniwan yang bekerja di lembaga keagamaan—langkah mereka menjadi makin kukuh. Dan saya pun makin gigih melakukan perlawanan dengan tulisan.
Sebagai warga negara Indonesia, yang hidup di sini, makin dan tenteram di sini, relakah saya membiarkan orang asing berjumpalitan membunuh bisinis bangsa kita sendiri? Saya tidak rela. Melihat kaum profesional, aktivis, ilmuwan, rohaniwan, teman-teman saya dijerumuskan ke jurang kehinaan macam itu, haruskah saya diam? Saya tidak rela.
Tapi apakah dengan begitu saya tak sadar telah membela kapitalis? Saya membela kapitalis Indonesia yang membayar pajak untuk negeri kita, yang memberi lapangan kerja bagi bangsa kita, yang membayar banyak pungutan, dan hitunglah cukai yang enam puluh lima trilliun itu, semua untuk Indonesia. Kalau saya membela mereka, dan melawan kapitalis yang sekaligus kolonialis dan imperialis, apa yang salah?
Saya membela petani. Saya membela pabrik,  dan semuanya demi melawan kolonialis dan imperialias yang kejam, dan menghancurkan kehidupan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin. Efek kolonialisasi dalam jiwa bangsa kita belum sembuh. Kita masih merasa minder pada bangsa Barat. Kita masih menganggap mereka suri teladan mulia.
Tak ada kemuliaan bagi penjajah. Negeri kita hancur karena mereka. Kita diadu domba karena duit. Kita bertengkar karena alasan palsu. Keuntungan ada di kaum kolonialis. Dan saya waspada. Ideologi melawan kaum kolonialis dan imperialis menggumpal dalam diri saya.
Lalu muncullah sebuah penelitian ilmiah Prof. Sutiman, ahli biologi,  dari Universitas Brawijaya, Malang, yang mengembangkan penelitian bertahun-tahun sebelumnya, yang dilakukan Dr. Gretha Zahar. Ibu Gretha, ahli fisika yang gigih menolong para penderita kanker yang tak sembuh di rumah sakit. Di tangan beliau mereka sembuh. Juga isteri Prof. Sutiman yang menderita kanker payudara.
Maka, sejak itu  Prof. Sutiman, ahli biologi itu lalu  melakukan penelitian laboratorium dengan temuan mengejutkan: bahwa kretek itu sehat. Ibu Gretha memproduksi kretek sehat itu buat penyembuhan para pasien. Kretek itu disebut Divine Kretek. Isinya protein, asam amino dan banyak zat bagus lainnya. Asam amino mengganti sel-sel tubuh yang mati. Membuat kita, yang sudah degeneratif, menjadi regeneratif lagi.
Dan saya pun merokok pada usia 58 tahun lebih beberapa bulan. Saya merokok karena ideologi yang saya sebutkan di atas.
—————-

Sejarah Rokok Kretek

Alkisah menurut para orang – orang asli kudus, diriwayatkan rokok kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu 1870 – 1880 an. Pada mulanya penduduk kudus ini sedang merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu berusaha menggoleskan minyak cengkeh tidak berapa lama sakitnya agak reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan melakukan pencampuran dengan bahan tembakau untuk di lintang atau digulung menjadi sebatang rokok.
Waktu itu melinting sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan beberapa modifikasi dengan mencampur bahan cengkeh. Setelah rutin mengisap atau merokok ciptaan djamari merasa sakitnya agak reda. Ia lalu menawarkan kepada kerabat atau tetangganya. Berita ini lantas menyebar bak bom waktu. Permintaan rokok obat mengalir begitu deras. Djamari melayani order rokok cengkeh. Lantaran ketika di hisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi,”kemeretek,..”. Maka rokok temuannya djamari di kenal dengan rokok kretek.
Pada mulanya rokok kretek di bungkus dengan klobot atau daun jagung kering. Rokok kretek ini kian di kenal. Namun tidak begitu dengan sang maestro penemunya djamari. Ia diketahui meninggal pada tahun 1890. Siapa dia dan asal usulnya hingga kini masih belum jelas.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga”. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Menurut beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta
Jenis Rokok Kretek : Ada Rokok Kretek non-filter dan dengan filter. Kretek yang non-filter masih terbagi dari yang tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkeh. Sedangkan kretek dengan filter berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh.
Kretek diproduksi oleh rakyat yang juga disebut petani tembakau serta petani cengkeh. Kretek bukan rokok, kretek terbuat dari tembakau dan bunga cengkeh Indonesia, namun rokok hanya terbuat dari tembakau.
Kretek itu bahannya sama menggunakan tembakau. Tetapi kretek selain dari tembakau dicampur juga dengan  bunga cengkeh dan saos. Ada juga kretek filter dan ada kretek non filter. Sedangkan yang bukan kretek adalah rokok putih.
Di dalam buku Membunuh Indonesia, dikatakan bahwa kretek adalah asli Indonesia dan hanya ada di Indonesia. Keseluruhan tenaga kerja yang terlibat dalam industri kretek berjumlah sekitar 30,5 juta orang. Sehingga menjadi penting untuk pemerintah melihat ini semua. Ketika pemerintah tidak sanggup mengentaskan jumlah pengangguran yang cukup banyak, maka tidak seharusnya malah menambah jumlah pengangguran.


(COPAS DARI : http://serbasejarah.wordpress.com/2012/04/16/ideologi-di-balik-rokokku/

Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ? (2)


Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang “Islam dan Pancasila”, dibawah ini adalah tulisan kedua dari Buya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat  di koran Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 22 Mei 2012 yang berjudul ” Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (2)”. Setelah tulisan sebelumnya yang lebih melihat aspek hitoris tentang “Persahabatan Islam dan Pancasila“, maka tulisan kedua ini sepertinya lebih menekankan pada sebuah refleksi dari konteks kekinian akan buah persahabatan itu. Berikut petikan tulisannya :

Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (2)

Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif
Lalu, setelah perdamaian abadi antara Islam dan Pancasila terwujud melalui proses yang ruwet, apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif? Inilah pertanyaan kunci yang hendak dicarikan jawabannya berikut ini, yang mungkin saja berseberangan dengan penilaian tuan dan puan.
Menurut penglihatan saya, baik Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Kesenjangan sosial-ekonomi sampai detik ini masih terlalu lebar untuk dapat dijembatani.
Para elite bangsa lebih banyak sibuk dengan dirinya sementara rakyat miskin tetap berada dalam lingkaran kemiskinannya. Jika pengamatan ini benar maka bangsa dan negara ini sedang dihadapkan kepada masalah-masalah fundamental yang sangat serius. Mengapa serius? Penjelasan sederhananya adalah karena Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar.
Sikap berpura-pura para elite bangsa sedang mendominasi panggung sejarah Indonesia modern tanpa rasa malu sedikit pun. Para elite ini tentu sebagian besar sebagai pemeluk Islam sesuai dengan data demografis yang disepakati. Tetapi, ini tidak berarti bahwa kelompok yang non-Muslim pasti lebih baik secara moral dibandingkan saudara-saudaranya pemeluk Islam.
Dengan kata lain, bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai ini seolah-olah terkapar secara moral akibat ulah anak-anaknya sendiri yang rapuh dalam karakter. Buktinya, antara kata dan laku sudah lama tak tersambung. Agama dan Pancasila seperti telah kehabisan daya dan kekuatan untuk meluruskan kelakuan mereka yang tunamoral itu.
Setelah Islam dan Pancasila bergandengan tangan, semestinya dua kekuatan ini menjadi landasan moral dan konstitusi untuk membangun bangsa ini secara benar, teratur, dan konsekuen. Tetapi, semuanya tidak terjadi karena mental sebagian besar politikus yang menguasai gelanggang permainan sudah rusak parah.
Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk.
Kedaulatan ekonomi kita sebagian sudah tergenggam di tangan asing, langsung atau tidak langsung. Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Bagi saya, semua ini adalah tragedi yang semestinya tidak perlu berlaku dalam cara kita mengurus bangsa dan negara, jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa.
Lalu, di mana demokrasi yang kita anut sebagai sistem politik menggantikan sistem otoritarian yang dulu kita kutuk sekeras-kerasnya? Demokrasi ada bersama kita, tetapi sebegitu jauh belum berfungsi sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan konstitusi kita.
Agar kita tidak putus asa dalam kondisi yang semacam ini maka stamina spiritual harus tetap prima dan terus bekerja keras bersama-sama untuk menciptakan sebuah perubahan mendasar dalam arti yang otentik konstitusional.
Fungsi Pancasila yang disinari nilai spiritual agama harus dikukuhkan kembali untuk menyelamatkan bangsa dan negara yang lagi oleng di tangan mereka yang cacat secara moral konstitusional.
Perubahan itu pasti datang sebab keterkecohan rakyat oleh segala bentuk janji dan citra selama ini semoga tak terulang lagi. Akhirnya, dengan semakin kokohnya persahabatan Islam dan Pancasila, kita sudah punya modal strategis yang dahsyat dalam membangun dan menjaga keutuhan bangsa dan negara kita sekarang dan di masa datang. Dua kekuatan ini harus secepatnya berada di tangan mereka yang bermoral dan punya karakter kuat penaka batu karang.
****
Diakhir tulisan pertama “Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?“, saya menuliskan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri……. dengan mencoba membayangkan apa yang akan ditulis oleh Buya Syafii Maarif tentang persahabatan Islam dan Pancasila. Ternyata dugaan saya sedikit kena, bahwa beliau akan mengungkapkan kenyataan-keyataan sekarang yang sebetulnya lebih dari sekedar kegagalan-kegagalan dalam membangun landasan hidup bernegara dan bermasyarakat.
Dari pertanyaan “apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif?” maka jawaban tegasnya adalah TIDAK !!!  dengan pengamatan obyektif setidaknya dari tulisan diatas ditemukan beberapa hal diantaranya :
  1. Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Pertanyaan mendasarnya mestikah ini dipertahankan?
  2. Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
  3. Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
  4. Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Kalimat yang mengusik kita bersama dari tulisan diatas adalah ………..  jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ya… Jika saja, andaikan, kalau … adalah kata-kata mimpi atau lebih kerennya harapan manakala  kita tidak sadar bahwa ibu pertiwi punya rahim yang mampu melahirkan dan rahim dari ibu pertiwi adalah revolusi. Sekali lagi bahwa rahim dari ibu pertiwi itu bernama REVOLUSI.
Bila sejarah boleh memakai kata ” Jika saja”… Jika saja “Piagam Jakarta” tidak dicoret …. Jika saja “Dekrit 5 Juli 1959″ tidak keluar… Jika saja sejak bangsa ini merdeka mendengarkan suara hati rakyatnya maka mungkin sekarang ….. Tapi sayang, sejarah tidak boleh memakai kata “Jika saja”.
M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”
M. Natsir mengajak untuk tidak berandai-andai tapi mengajak untuk bertobat untuk beristighfar bukan untuk mempertahankan “persahabatan kecelakaan” yang tidak melahirkan datangnya “berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Sejarah masa depan masih terbentang panjang, generasi masa kini pembuat jalan perintis jejak menyimpan harap, maka saya hanya yakin pada “PEMUDA LANGIT” yang membawa “Revolusi Dari Langit” dengan harapan yang bukan angan-angan tapi kepastian janji dari Ilahi. Maka selamat datang REVOLUSI sebagai rahim ibu pertiwi yang akan melahirkan para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Sebuah kemerdekaan yang diawali dengan ….  ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.“….. kemerdekaan yang menjadi hak rakyat Indonesia, kemerdekaan yang melahirkan  negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemerdekaan yang melahirkan masa depan syajaratin thayyibah atas dasar kalimatan thayibatan
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)


(Copas dari :    http://serbasejarah.wordpress.com/2012/05/26/islam-dan-pancasila-betulkah-bersahabat-2/

Rabu, 16 Mei 2012

Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?

Sebuah tulisan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif  yang dimuat  di koran Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 15 Mei 2012 yang berjudul ” Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)” menarik untuk dibahas sebagai wacana pemikiran dan mengingat akan masa lalu tentang relasi Islam dan Pancasila sebagai sebuah Ideologi. Tulisan lengkapnya saya copy paste disini :

Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)

Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif
Saat bala tentara Jepang masih punya kekuasaan di Indonesia sekitar 2,5 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, pertarungan sengit antara Islam dan Pancasila untuk diusulkan sebagai dasar filosofi negara telah terjadi. Medan pertarungan itu adalah dalam sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Islam diwakili tokoh-tokoh puncak kelompok santri, seperti Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Sanoesi, Kahar Muzakkir, sedangkan di pihak Pancasila muncul Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan para pemimpin nasionalis lainnya. Sekiranya Ketua BPUPK Dr KRT Radjiman Widiodiningrat tidak menanyakan tentang dasar filosofi negara yang mau merdeka, kita tidak tahu apakah negara Indonesia akan punya dasar atau tidak.
Yang paling serius menjawab tantangan Radjiman itu adalah Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 yang terkenal itu. Pidato inilah yang menjadi sumber Pancasila itu, tidak yang lain. Pancasila yang sekarang ini, sekalipun bersumber dari Bung Karno, perumusannya telah mengalami perubahan, tetapi bilangan silanya tetap lima.
Perdebatan antara golongan santri dan nasionalis pada Juni itu kemudian menghasilkan sebuah titik temu dalam bentuk Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, dengan sila-silanya sebagai berikut:
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam ini hanya berumur 57 hari sebab pada 18 Agustus 1945, demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus dan posisinya digantikan oleh ungkapan “Yang Maha Esa“ sehingga bunyi lengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Pancasila rumusan 18 Agustus inilah yang kita gunakan sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, golongan santri rupanya tidak terlalu bahagia dengan Pancasila 18 Agustus itu, apalagi dengan Pancasila UUD 1949/UUDS 1950. Dalam sidang-sidang Majelis Konstituante, 1956-1959, ketidakbahagiaan itu mereka lontarkan kembali dengan menggugat rumusan ini dan mengajukan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan Pancasila.
Gugatan ini sepenuhnya benar secara konstitusional karena UUDS 1950 memang membuka pintu untuk itu. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, pergulatan tentang dasar negara dalam majelis pembuat UUD ini berjalan sangat alot karena tidak satu pihak pun yang berhasil mengegolkan usulannya sebagaimana yang diminta oleh UUDS. Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu. Dengan dekrit ini, Pancasila 18 Agustus dan UUD 1945 dikukuhkan kembali dan Majelis Konstituante dibubarkan. Akibatnya, suhu politik menjadi sangat panas ketika itu ditambah lagi sangat panas ketika itu ditambah lagi dengan maraknya pergolakan daerah yang mengkristal dalam bentuk PRRI/Permesta sejak 1958 yang telah menguras energi bangsa Indonesia.
Ironisnya, Dekrit 5 Juli juga dipakai Bung Karno untuk melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang minus demokrasi itu, tetapi kemudian berakhir dengan sebuah malapetaka nasional. Kekuasaan Bung Karno pun tidak bisa bertahan untuk kemudian digantikan oleh era Demokrasi Pancasila (1966-1998) dengan Presiden Soeharto sebagai penguasa tunggal.
Pada era inilah, petarungan Islam dan Pancasila memasuki tahap terakhir dengan segala masalah dan dinamika politik yang menyertainya.
Ringkasnya, sejak itu Pancasila sebagai dasar negara secara formal konstitusional telah sangat mantap. Jika masih ada pihak-pihak yang menggugat Pancasila, kekuatan mereka hanyalah berupa riak-riak kecil yang tidak akan mengubah dasar filosofi konstitusi Indonesia.
Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu.
*****

Mengingat Riwayat Tujuh Kata

Dalam tulisan diatas Syafi’i Ma’arif menyampaikan : “demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus” , pertanyaanya apa betul pencoretan “tujuh kata” itu “demi persatuan bangsa” ? Fakta historis bahwa tarik ulur perdebatan pencoretan tujuh kata itu tidaklah sederhana dan bahkan dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”.
Dalam biografi Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 tahun, yang ditulis Lukman Harun, tertera pada hari dan saat bersamaan, 18 Agustus 1945, Bung Karno minta Kasman melobi Hadikusumo. Bung Karno mengatakan kepada anggota PPKI itu, yang juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, usaha yang sama telah dicoba lewat Hasan, tapi tak berhasil. Baru setelah Kasman berbicara dengan Hadikusumo, sebagai sesama Muhammadiyah. persetujuan penghapusan tujuh kata itu dicapai. Mana yang benar? Hasan mengaku pernah menghubungi Kasman. beberapa tahun lalu, untuk menjelaskan soal ini. Menurut Hasan. Kasman berkata, ”Benar, Saudara meyakinkan dia (Ki Bagus Hadikusumo) dalam bahasa Indonesia, saya meyakinkan dia dalam bahasa Jawa.”
Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.
Ini artinya bahwa kalangan Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara. Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). (Lihat “Riwayat Tujuh Kata“)
Lalu siapa yang menginginkan “pencoretan tujuh kata” demi persatuan bangsa ? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen lah yang  sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan,
”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti Allah subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.

Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?

 ”Jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!
Paragraf diatas adalah kutipan  Pidato Mr Kasman Singodimejo di Majelis Konsituante “Menuntut pelaksanaan Gentlement Agreement” yang dijanjikan “Soekarno” (lihat ” Mitos Konstituante“) yang tetap teguh mencinta-citakan Islam sebagai dasar negara. Sehingga menjadi pertanyaan pula atas tulisan Syafi’i Ma’arif : “Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu“. Betulkah Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “kesulitan konstitusional” ataukah “keteguhan” pendirian Bung Karno yang tidak menginginkan Islam sebagai dasar negara? ….
Paragraf penutup (yang mungkin masih bersambung) dari tulisan Syafi’i Ma’arif diatas : “Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu“. Betulkah Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat?
Kiranya Cerita Kasman Singodimejo dalam memoirnya Hidup itu Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, memberi sedikit jawaban sejarah. Beliau menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang.
Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Meminjam istilah Syafi’i Ma’arif tentang “sejarah kesengajaan” dan “sejarah kecelakaan”, maka bila mungkin sekarang terjadi “persahabatan” Islam dan Pancasila dalam konteks sejarah adalah sebuah “persahabatan kecelakaan” bukan “persahabatan kesengajaan” …. dan sangat mungkin untuk perbaikan demi masa depan. Maka pertarungan ideologi seyogyanya tak perlulah tuk di akhiri dan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri…….
Tambahan Referensi :  Peristiwa 18 Agustus 1945 : Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta, Oleh: Artawijaya

(copas dari :  http://serbasejarah.wordpress.com/2012/05/17/islam-dan-pancasila-betulkah-bersahabat/}

Sabtu, 07 Januari 2012

B. Pembukuan Hadits Secara Resmi

Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dan dianut oleh penduduk yang bertempat di luar jazirah Arabia,dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah,bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telh meninggal dunia,maka terasalah perlunya Hadits di abadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan Hadits. Ini menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz seorang Khalifah Bani Umayah yang menjabat Khalifah antara tahun 99 H – 101 H,untuk menulis dan membukukan Hadits.


Motif utama khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah sebagai berikut :
a) Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Hadits seperti yang sudah-sudah. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya Hadits dari perbendaharaan masyarakat,disebabkan belum dibukukannya Hadits.

b) Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari Hadits-hadits Maudhu' yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan pendapat golongannya dan mempertahankan madzhabnya,yang mulai tersiar sejak awal Khalifah Ali bin Abi Thalib.

c) Tidak lagi khawatir bercampur dengan al-Qur'an,karena al-Qur'an telah dibukukan.

d) Banyaknya kaum muslimin yang hafal Hadits wafat,karena usia dan karena pertempuran.
Untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Hadits dan bercampurnya dengan Hadits-Hadits palsu,beliau menginstruksikan kepada seluruh pejabat dan ulama untuk mengumpulkan Hadits. Instruksi itu berbunyi :

أنظروا حديث رسول الله صلي الله عليه وسلم فاجمعوا



Artinya : Telitilah Hadits Rasulullah Saw kemudian kumpulkanlah..

Adapun Kitab-kitab Hadits yang masyhur karya ulama abad kedua Hijriyah antara lain :

a. Al-Muwatha' yang disusun oleh Imam Malik r,a. pada tahun 144 H,atas anjuran Khalifah Mansyur.jumlah Hadits yang terdapat dalam kitab tersebut kurang lebih 1.720 buah Hadits.

b. Musnad Asy-Syafi'i. Dalam kitab ini Imam Syafi'i mencantumkan seluruh Hadits yang tercantum dalam kitab beliau yang bernama al-Umm.

c. Mukhtalif al-Hadits karya Imam Syafi'i

sumber :

http://kajianstudiislam.blogspot.com/2011/02/pembukuan-hadits-secara-resmi.html

Sejarah Penulisan dan Pengkodifikasian Hadits

A. Hadits pada Periode Rasul dan Sahabat
Pada masa Rasulullah Saw masih hidup,Hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al-Qur'an,Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa,selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mangabadikan ayat – ayat al-Qur'an diatas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya.tetapi tidak demikian halnya terhadap Hadits.Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan –ketentuan d dalam al-Qur'an,namun mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama Hadits belum diabadikan dalam tulisan.

Para sahabat menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan panca indera dari Nabi Muhammad Saw.dengan berita lisan belaka.Pendirian ini memiliki dasar yang kuat,yakni sabda Nabi Muhammad Saw :

لا تكتبوا عني شيئا الا القرأن , ومن كتب عني شيئا غير القرأن فليمحه و حدثوا عني ولا حرج , ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار . رواه مسلم
Artinya : Janganlah kalian tulis sesuatu yang telah kalian terima dariku selain al-Qur'an.Brangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur'an hendaklah ia menghapusnya,Ceritakan saja yang kamu terima dariku,itu tiada mengapa,Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dineraka ( HR.Muslim )
Hadits tersebut diatas disamping menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan,juga member ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu atau berdusta.Larangan penulkisan Hadits tersebut adalah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Hadits kedalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur'an karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah Saw adalah wahyu semuanya.
Disamping Rasulullah Saw melarang menulis Hadits,beliau juga memrintahkan kepada beberapa orang sahabat untuk menulis Hadits.Misalnya Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r,a.menerangkan bahwa saat ketika kota mekkah telah dikuasai oleh Rasulullah Saw beliau berdiri berpidato,tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan berkata :
يا رسول الله اكتبوا لي , فقال اكتبوا له
Artinya : Ya Rasulullah Tulislah untukku, Maka Rasulullah Saw Bersabda : Tuliskanlah oleh kamu sekalian untuknya..

Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan Hadis yang bersifat pribadi dari sahabat dan tabiin.
Para sahabat yang mempunyai naskah Hadits antara lain :
1. Abdullah bin Amr bin Ash r,a ( 7 sebelum Hijriyah – 65 H )
Rasulullah Saw mengijinkan kepada Abdullah bin Amr bin Ash rs untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau, dikarenakan ia adalah salah seorang yang baik. Naskah Abdullah bin Amr bin Ash ra dinamai dengan Ash-Shahifah Ash- Shidiqah karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah Saw.
2. Jabir bin Abdullah Al-Anshary r,a ( 16 H – 73 H )

Naskah Hadits Jabir bin Abdullah Al-Anshary ra dinamai Shahifah Jabir.dan diantara Tabi'in yang memiliki naskah Hadits ialah Human bin Munabbih ( 40 H – 130 H )
Pada masa Khalifah Abu Bakar r,a dan Umar bin Khattab,perkembangan penulisan Hadits tidak begitu pesat.hal ini disebabkan anjuran beliau kepada para sahabat agar mengutamakan penyiaran al-Qur'an sebagai dasar syariat yang pertama.sedangkan pada masa khalifah Usman bin Affan r,a. telah menunjukan perkembangan Hadits yang begitu pesat.para sahabat kecil dan tabiin mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan Hadits dari para sahabat besar,ytang jumlahnya kian hari kian berkurang dan tempat tinggalnya sudah mulai bertebaran di pelbagai pelosok.satu contoh misalnya sahabat Abu Ayub Al-Anshary r,a pergi kemesir menemui nsahabat Uqbah bin Amir untuk menanyakan sebuah Hadits yang berbunyi :

من ستر مسلما في الدنيا علي خزية ستره الله يوم القيامة

Artinya : Barang siapa yang menutupi kesulitan seorang muslim di dunia, Allah akan menutupi kesulitannya pada hari kiamat.

Sejak berakhirnya pemerintahan Khalifah Utsman r,a ( 40 H ) mulai timbul Hadits-Hadits palsu ( Maudhu ) yakni ucapan atau buah karya seseorang atau diri sendiri yang di dakwahkannya kepada Nabi Saw. Hal ini dilakukan untuk membela diri dari musuh-musuh politik dan pendiriannya.

sumber :
http://kajianstudiislam.blogspot.com/2011/02/sejarah-penulisan-dan-pengkodifikasian.html