Minggu, 28 Agustus 2011

MANTAN KYAI NU

Kita sering mendengar celoteh yang mengatakan : Lebih baik mantan (ma'af) maling daripada mantan Kyai. Artinya, kebanyakan orang mengartikan kalau mantan maling berarti bukan maling lagi, dan kalau mantan Kyai bukan Kyai lagi, Mantan maling diartikan sebagai mantan orang jahat yang sekarang baik, sementara Mantan Kyai diartikan Mantan orang baik yang sekarang jahat.

Betulkah anggapan ini?. Ternyata TIDAK SERATUS PERSEN BENAR!. Lebih jelasnya di bawah ini saya copy-pastekan sebuah artikel yang berkaitan dengan celoteh tersebut di atas, sebagai berikut :

Biografiku yang di tulis komunitas salafy






KH. Mahrus Ali, Mantan Kyai NU yang Mendakwahkan Sunnah di Kalangan Nahdhiyin

Sumber : http://info-dakwah.blogspot.com/2011/04/kh-mahrus-ali-mantan-kyai-nu-yang.html

Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur dari pendeta dalam sebuah acara berikut ini, “Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jatim diselenggarakan kongres Asia penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka karena bermanfaatnya ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblak dalam istilah Jawa(atau haul dalam istilah NU-ed) untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam” (KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.23)

“Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabi’uts tsani 1345H/21Oktober 1926M mencantumkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan setelah kematian (yakni Tahlilan dan Yasinan-ed) adalah Bid’ah yang hina/tercela, namun tidak sampai mengharamkannya. (Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, keputusan Muktamar, Munas Kombes Nahdhatul Ulama (1926-2004M) LTN NU Jawa Timur Bekerja sama dengan Penerbit Khalista, Surabaya-2004. Cetakan ketiga, Februari 2007 Halaman 15 s/d 17).”
(KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.19)


Bagi warga Sidoarjo, khususnya bagi warga NU, nama KH. Makhrus Ali amat dikenal. Beliau adalah seorang tokoh kyai besar yang telah terjun di medan dakwah. Tapi siapa yang menyangka kalau KH. Makhrus Ali berubah manhajnya dalam beragama yang semula sebagai seseorang yang gemar melakukan tradisi dan amaliah kebid’ahan, kini beralih menjadi seorang Ahlussunnah. Insya Allah.




Biografi dan Perjalanan Ilmiah Mantan Kyai NU


KH. Makhrus Ali adalah seorang mantan Kyai NU, begitulah beliau mengenalkan dirinya dalam tulisan-tulisan beliau. Beliau lahir dan bernasab NU di dusun Telogojero desa Sidomukti kecamatan Giri-Gresik Jatim pada tanggal 28 Desember 1957. Sejak lahir hingga usia 40 tahun, beliau telah menjadikan paham Ahlussunnah wal Jama’ah ala NU sebagai identitas kultural, keagamaan, basis teologi dan dakwahnya.


Beliau adalah adik( maksudnya ibu KH Mahrus ali di kawin oleh ayah KH Mujadi ) dari KH. Mujadi, pimpinan ponpes KH. Mustawa Sepanjang-Sidoarjo, menantu Kyai Imam Hanbali (seorang tokoh NU yang disegani di Waru-Sidoarjo), adik ipar KH. Hasyim Hanbali, pimpinan ponpes Asy-Syafi’iyyah dan juga adik ipar dari KH. Abdullah Ubaid, pengasuh ponpes Manba`ul Qur`an Tambak Sumur, Waru-Sidoarjo.


Setelah menamatkan pendidikan di Madrasah MI-NU Sidomukti (1970/1971), beliau meneruskan studinya ke ponpes Langitan Tuban-Jatim selama 7 tahun yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Ahmad Marzuqi (mbah Mad) dan KH. Abdullah Faqih. Selama belajar di Langitan, KH. Makhrus Ali sering menjadi bintang kelas dan juara membaca kitab kuning. Bahkan beliau pernah diamanahi untuk mengajar di Langitan selama 2 tahun hingga akhirnya beliau dikirim oleh KH. Abdullah Faqih ke Bangil untuk mengajar di ponpes YAPI yang diasuh oleh Habib Husain Al-Habsyi. Selama di YAPI, beliau dipercaya untuk mengajar materi Nahwu, Sharaf, Fara`idh, Hadits dan tafsir. Beliau juga dipercaya untuk memimpin pondok tersebut bersama ust. Imran (sekarang mengasuh di ponpes Parengan-Lamongan).


Setelah itu beliau melanjutkan studi ke Mekkah, tepatnya di Jama’ah Tahfizhil Qur’an, langsung di bawah bimbingan Syaikh Yasin Al-Banjari, Syaikh Wa’il dan Syaikh Sa’ad bin Ibrahim sambil sesekali ngaji rungon kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani (seorang ulama yang diidolakan dan menjadi panutan Kyai, Habib, Gus dan ulama NU) hingga mengkhatamkan selama 3 tahun.


KH. Makhrus Ali juga berguru kepada Syaikh Yasin Al-Fadani, seorang ahli sanad hadits dan memperoleh ijazah sanad dari beliau untuk ribuan kitab hadits dan fiqih. Selain itu, KH. Makhrus Ali juga belajar kepada Syaikh Husain Abdul Fattah dan Syaikh Abdullah bin Humaid, ketua Qadhi di Saudi Arabia. Beliau juga sempat belajar kepada Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz saat menjabat sebagai ketua Lajnah Daa`imah. Syaikh Bin Baaz adalah seorang ulama mufti yang tuna netra namun paling disegani di Saudi Arabia. KH. Makhrus Ali juga pernah membantu Dr. hikmat Yasin Al-Iraqi untuk menulis Tafsir Ibnu Abi Hatim dan Muhammad bin Ishaq dalam bahasa Arab selama 2 tahun. Beliau juga dipercaya menjadi muadzin sekaligus imam di masjid Al-Husain di Aziziyah-Mekkah selain memberikan cerama agama. Beliau juga menjadi rujukan pertanyaan tentang manasik haji jama’ah haji dari Indonesia di maktab Syaikh Abdul Hamid Mukhtar Sidayu.


Tahun 1987, beliau kembali ke tanah air setelah belajar di Saudi Arabia selama 7 tahun dan mulai terjun di dunia tulis menulis, mengarang buku dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Naskah yang sudah beliau tulis dan terjemahkan sudah amat banyak.


Beliau menikah dengan Hj. Faizah, seorang hafizhah alumni ponpes Nurul Huda Singosari Malang-Jatim, putri dari Kyai Hanbali (seorang tokoh yang disegani di Waru-Sidoarjo yang pernah nyantri langsung kepada Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh ponpes Tebu Ireng Jombang-Jatim).




Masa Lalu Mantan Kyai NU


Sebagaimana pada umumnya kaum tradisionalis NU, kehidupan KH. Makhrus Ali pun bagitu kental dengan tradisi-tradisi yang ada dalam NU, semisal Yasinan, Tahlilan, Istighasahan dan lainnya. Beliau menuturkan, “ Dulu sewaktu saya masih berpendirian antara Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, LDII, Al-Khairiyah, saya selalu memimpin acara tahlilan di tempat saya. Saya anggap acara itu sebagai bacaan dzikir yang baik. Kalau toh tidak sampai kepada mayat, pahalanya juga bisa dimanfaatkan secara pribadi oleh para pembacanya. Hal itu terjadi setelah saya kenal dengan Ust. Habib Husain Al-Habsyi-Bangil (yang sekarang masih berkubang dalam lumpur kesyirikan. Semoga Allah member hidayah kepadanya). Waktu itu saya menjadi salah satu guru di pondok tempatnya mengasuh. Sebelum itu, saya termasuk kolot. Saya selalu mengikuti apa yang diikuti oleh guru-guru saya. Saya termasuk juga hafal Burdah, Barzanji, Tahlilan, Alfiyah, dan Imrithi. Dan banyak kitab kuning yang saya sudah ngelontok (hafal di luar kepala). Waktu itu saya tidak khawatir bila saya mati, saya akan masuk surga. Saya waktu itu menjadi penceramah di kalangan remaja NU di Sidomukti Giri Gresik-Jatim. Saya tidak khawatir lagi bila malaikat maut datang sebab saya ikut agama kakek dan nenek saya.


Ketika saya pulang dari ponpes, saya ikut diba`an. Di ponpes pun saya juga tiap malam Jum’at ikut diba`an dan tahlilan. Saya katakana, saya hafal betul, sampai sekarang kalau ada orang baca diba` keliru, saya masih mengerti kalau dia keliru. Kumpulan saya memang hanya dari kalangan NU. Dan saya mengikuti budaya mereka. Saya tidak mengerti salah, bid’ah, sesat dan kesyirikan dalam amaliah yang saya jalankan. Saya katakan saya tidak tahu. Saya paham ilmu katanya guru.”



Ketika Hidayah Sunnah Menyapa


Menjadi seorang Ahlussunnah adalah impian bagi setiap muslim. Sebab Apa? Karena hanya Ahlussunnah-lah firqah yang benar. Oleh karena itu, kita mendapati setiap kelompok dalam Islam mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah (kecuali Syi’ah). Walaupun secara aqidah dan amaliah mereka tidaklah demikian, tapi justru berlandaskan penyimpangan demi penyimpangan (Syirik, Bid’ah, khurafat dan Tahayul).


Dan inilah yang dialami oleh KH. Makhrus Ali. Ketika hidayah Sunnah menyapa, beliaupun menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau menuturkan, “Sewaktu kyai saya datang ke rumah, ketika saya membaca buku fatawa Mahmud Syaltut, Kyai saya bilang, “Jangan membaca kitab seperti itu!”


Mungkin maksudnya agar saya mengikuti paham salafiyyah ala pesantren NU, dan masih belum waktunya untuk membaca buku seperti itu. Sebab, Syaltut adalah rektor Al-Azhar yang pikirannya terbuka dan memilih yang benar dari beberapa pandangan ulama, tidak terikat kepada salah satu golongan. Saya sudah memegang buku bahasa karangan bahasa Arab karangan rektor Al-Azhar itu ketika usia saya baru 16 tahun.”


Beliau melanjutkan, “Bila saya bertemu dengan kyai, saya mencium tangannya. Saya tidak berani berbicara di mukanya. Memang begitulah budaya santri. Sekarang saya sudah mengerti bahwa para sahabat bila bertemu dengan Rasulullah tidak pernah mencium tangan. Dan saya belum tahu haditsnya dimana para sahabat mencium tangan Rasulullah.”


Selama 40 tahun KH. Makhrus Ali berkubang di dalam tradisi dan amaliah yang bid’ah dan syirik. Namun hidayah datang kepada beliau. Beliau menceritakan keadaan dirinya saat ini, “Sekarang saya sudah bisa mengkaji ilmu dan bisa mencari mana yang benar karena anugerah dari Allah dan rahmat-Nya. Saya pilih mana yang tidak menyimpang dan yang cocok dengan dalil. Saya jadi geleng-geleng kepala ketika mengenang perbuatan saya waktu dulu. Pikir saya, mengapa tidak dari dulu saya ikut aliran Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ah…itu semua tidak bisa diperkirakan.”


KH. Makhrus Ali melanjutkan cerita, “Hati saya berontak dengan ajaran tradisional, tapi mulut saya tidak bisa bicara. Pikiran tidak cocok, tapi mau mendebat tidak punya ilmu. Setelah banyak pengalaman, ilmu saya selalu diluruskan dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Maka ilmu tradisional yang telah mendalam di lubuk hati dan pikiran waktu dahulu, kini terbuang. Entah kemana, mungkin ke recycle bin atau keranjang sampah. Saya yang dulu lain dengan yang sekarang. Ilmu saya dulu ngambang, mengaku benar tapi menurut saya sendiri dan golongan saya. Bila saya mati, saya sudah merasa yakin akan masuk surga menurut pemahaman saya dan golongan saya. Jadi surga-surgaan sebagaimana layaknya orang non-muslim mengaku akan masuk surga. Inilah yang saya khawatirkan.”


“Di saat saya belum berpikir sebagaimana pemikiran Ahli Hadits (yakni Ahlussunnah-pen), ilmu saya hanya taklid, tidak ingin ada pikiran untuk mengkaji suatu hadits atau suatu ajaran dan tidak ada agenda kesana. Atau memang belum mendapatkan pertolongan dan hidayah dari Allah untuk membuang bid’ah, syirik, khurafat, taklid buta, menolak hadits, menolak ajaran “baru” yang benar yang menghapus khurafat dan ajaran sesat dari hati saya”, lanjut beliau.


Beliau menerangkan lagi, “Apalagi menurut Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy atau Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (rahimahumullaah, semuanya adalah nama-nama ulama Ahlusunnah yang tidak dikenal oleh kalangan NU, padahal orang-orang NU mengaku diri mereka sebagai Ahlussunnah-ed), maka saya termasuk penyembah kuburan, suka kebid’ahan dan matinya berbahaya.”


Akhirnya beliau tinggalkan seluruh ritual dan amaliah yang bid’ah dan syirik yang dahulu beliau amalkan ketika masih berpaham NU. Dan sekarang beliau senantiasa mendakwahkan kepada manusia bahwa amalan-amalan yang mayoritasnya diamalkan oleh kaum Nahdhiyin adalah bid’ah dan harus ditinggalkan.


Jalan hidayah tidaklah selalu mulus. Akan ada penghalang dan penentang yang tidak setuju apabila seseorang mengubah keyakinannya yang semula berkubang dengan kebid’ahan dan beralih kepada manhaj Ahlussunnah yang haq. Demikian juga yang dialami oleh KH. Makhrus Ali. Beliau menuturkan, “Sekarang saya ikut aliran ahli hadits(ahlussunnah-ed), disalahkan oleh ibu saya, keluarga saya dan golongan saya dulu. Saya pikir di dunia ini yang penting adalah lurus dan ajaran saya cocok dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan yang jelas harus beda dengan ahli bid’ah.”


Melalui penanya yang tajam, beliau mengkritisi setiap tradisi dan amaliah menyimpang yang banyak dilakukan oleh kaum tradisional. Bukan hanya dari kalangan awwam saja, namun dari para tokoh yang dijunjung tinggi pun masih banyak yang bergelimang dalam kebid’ahan.


Inilah sosok seorang Kyai yang telah kembali kepada ajaran Islam yang murni, Ahlussunnah yang sesungguhnya. Ya, Ahlussunnah. Dinamakan demikian karena Ahlussunnah adalah lawan dari bid’ah dan ahlinya. Kalau ada golongan atau kelompok yang berkubang dalam kebid’ahan namun mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah, maka klaim itu hanya sebatas klaim dusta.


Kita berdoa kepada Allah agar para kyai yang kini tengah berkubang dalam kebid’ahan mendapatkan hidayah sehingga mereka bisa meninggalkan kebid’ahan mereka, sehingga mereka betul-betul menjadi sosok alim yang faqih yang bisa dijadikan umat sebagai rujukan ilmu dan bisa mewujudkan Al-‘Ulamaa` waratsatul Anbiyaa` (Para ulama adalah pewaris para nabi). Aamiin.

(Ditulis ulang dengan pengeditan dan penambahan seperlunya dari buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighasahan dan Ziarah para Wali” karya KH. Mahrus Ali)


Oleh Al-Faqir Ilallaah Aqil Azizi

Rabu, 24 Agustus 2011

EMPAT GOLONGAN M,ANUSIA MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR JAILANI

copy-paste dari :
http://delisufi.blogspot.com/2011/08/empat-golongan-manusia-oleh-syeikh.html?zx=5767061837ae2d0a

EMPAT GOLONGAN MANUSIA OLEH SYEIKH ABDUL QADIR AL JAILANI

Ada empat jenis manusia dalam dunia ini Dipetik dari Kitab Futuuhul Ghaib oleh Sheikh Abdul Qadir Al-Jailani (Pengasas Tarekat Qadiriyah)


Pertama ialah mereka yang tidak ada lidah dan tidak ada hati. Mereka ini ialah orang-orang yang bertaraf biasa, berotak tumpul dan berjiwa kerdil yang tidak mengenang Allah dan tidak ada kebaikan pada mereka. Mereka ini ibarat melukut yang ringan, kecuali mereka dilimpahi dengan kasih sayang Allah dan membimbing hati mereka supaya beriman serta menggerakkan angota-anggota mereka supaya patuh kepada Allah.
Berhati-hatilah supaya kamu jangan termasuk dalam golongan mereka. Janganlah kamu layan mereka dan janganlah kamu bergaul dengan mereka. Merekalah orang-orang yang dimurkai Allah dan penghuni neraka. Kita minta dilindungi Allah dari pengaruh mereka. Sebaliknya kamu hendaklah cuba menjadikan diri kamu sebagai orang yang dilengkapi dengan
  • Ilmu Ketuhanan,
  • Guru kepada yang baik,
  • Pembimbing kepada agama Allah,
  • Penyampai dan pengajak kepada manusia kepada jalan Allah.
Berjaga-jagalah jika kamu hendak mempengaruhi mereka supaya mereka patuh kepada Allah dan beri amaran kepada mereka terhadap apa-apa yang memusuhi Allah. Jika kamu berjuang di jalan Allah untuk mengajak mereka menuju Allah, maka kamu akan jadi pejuang dan pahlawan di jalan Allah dan akan diberi ganjaran seperti yang diberi kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul.
Nabi Muhammad SAW. pernah bersabda kepada Sayyidina Alli;
"Jika Allah membimbing seseorang melalui bimbingan kamu kepadaNya, maka itu terlebih baik kepada kamu dari apa-apa sahaja di mana matahari terbit".

Satu jenis lagi manusia ialah mereka yang ada lidah tetapi tidak ada hati.
  • Mereka bijak bercakap tetapi tidak melakukan seperti yang dicakapkannya.
  • Mereka mengajak manusia menuju Allah tetepi mereka sendiri lari dari Allah.
  • Mereka benci kepada maksiat yang dilakukan oleh orang lain, tetapi mereka sendiri bergelumbang dalam maksiat itu.
  • Mereka menunjuk kepada orang lain yang mereka itu Sholeh tetapi mereka sendiri melakukan dosa-dosa yang besar.
  • Bila mereka bersendirian, mereka bertindak selaku harimau yang berpakaian.
Inilah orang yang dikatakan kepada Nabi SAW. dengan sabda;
"Yang paling aku takuti dan aku pun takut di kalangan umatku ialah orang 'Alim yang jahat".
Kita berlindung dengan Allah daripada orang 'Alim seperti itu. Oleh itu, larilah dan jauhkan diri kamu dari orang-orang seperti itu. Jika tidak, kamu akan terpengaruh oleh kata-kata manis yang bijak berbicara itu dan apoi dosanya itu akan membakari kamu dan kekotoran hatinya akan membunuh kamu.

Jenis yang ketiga ialah golongan orang yang mempunyai hati tetapi tidak ada lidah.
  • Dia adalah seorang yang beriman.
  • Allah telah mendindingkan mereka daripada makhluk dan
  • menggantungkan di keliling mereka dengan tabirNya dan
  • memberi mereka kesedaran tentang cacat cedera diri mereka.
  • Allah menyinari hati mereka dan menyedarkan mereka tentang kejahatan yang timbul oleh kerana mencampuri urusan orang ramai dan kejahatan yang timbul oleh kerana mencampuri orang ramai dan kejahatan kerena bercakap banyak.
Mereka ini tahu bahawa keselamatan itu terletak dalam "DIAM" dan bekhalwat. Nabi SAW. pernah bersabda;
"Barangsiapa yang diam akan mencapai keselamatan".
Sabda baginda lagi;
"Sesungguhnya berkhidmat kepada Allah itu terdiri dari sepuluh bahagian, sembilan darinya terletak dalam diam".
Oleh itu mereka dalam golongan jenis ini adalah Wali Allah dalam rahsiaNya, dilindungi dan diberi keselamatan, bijaksana, rakan Allah dan diberkati dengan keredhoan dan segala yang baik akan diberikan kepada mereka.
Oleh itu, kamu hendaklah berkawan dengan mereka dan bergaul dengan orang-orang ini dan diberi pertolongan kepada mereka. Jika kamu berbuat demikian, kamu akan dikasihi Allah dan kamu akan dipilih dan dimasukkan dalam golongan mereka yang menjadi Wali Allh dan hamba-hambanya yang Sholeh.

Jenis manusia yang keempat pula ialah mereka yang dijak ke dunia tidak nampak (Alam Ghaib), diberi pakaian kemuliaan seperti dalam sabda Nabi SAW;

"Barangsiapa yang belajar dan mengamalkan pelajarannya dan mengajarkan orang yang lain, maka akan diajak ke dunia ghaib dan permuliakan".
Orang dalam golongan ini mempunyai ilmu-ilmu Ketuhanan dan tanda-tanda Allah. Hati mereka menjadi gedung ilmu Allah yang amat berharga dan orang itu akan diberi Allah rahsia-rahsia yang tidak diberi kepada orang lain. Allah telah memilih mereka dan membawa mereka hampir hampir kepadaNya. Allah akan membimbing mereka dan membawa mereka ke sisiNya. Hati mereka akan dilapangkan untuk menerima rahsia-rahsia ini dan ilmu-ilmu yang tinggi. Allah jadikan mereka itu pelaku dan lakuanNya dan pengajak manusia kepada jalan Allah dan melarang membuat dosa dan maksiat. Jadilah mereka itu "Orang-orang Allah". Mereka mendapat bimbingan yang benar dan yang mengesahkan kebenaran orang lain.
Mereka ibarat timbalan Nabi-nabi dan Rasul-rasul Allah. Mereka sentoasa mendapat taufiq dan hidayah dari Allah Yang Maha Agung. Orang yang dalam golongan ini adalah pada peringkat terakhir atau puncak kemanusian dan tidak ada Maqam di atas ini kecuali Kenabian.
Oleh itu hati-hatilah kamu supaya jangan memusuhi dan membantah orang-orang seperti ini dan dengarlah cakap atau nasihat mereka. Oleh itu, keselamatan terletak dalam apa yang dicakapkan oleh mereka dan dalam berdamping dengan mereka, kecuali mereka yang Allah beri kuasa dan pertolongan terhadap hak dan keampunanNya.



Jadi saya (Sheikh Abdul Qadir Al-Jailani) telah bahagikan manusi itu kepada empat golongan. Sekarang terpulanglah kepada kamu untuk memeriksa diri kamu sendiri jika kamu mempunyai fikiran. Dan selamatkanlah diri kamu jika kamu ingin keselamatan. Mudah-mudahan Allah membimbing kita menuju kepada apa yang dikasihiNya dan diredhoiNya, dalam dunia ini dan di akhirat kelak.






HUKUM SYARI’AH TENTANG KORUPSI


Diriwayatkan dari Abu Humaid As Sa’idi beliau berkata : “Suatu hari Rasulullah menyuruh seseorang bernama Ibnu Utabiyyah untuk mengumpulkan zakat dari Bani Asad. Sesampainya di hadapan Rasulullah, Ibnu Utabiyyah berkata : “Ya Rasulullah, ini zakat untukmu dari Bani Asad sedangkan ini hadiah buat saya”. Seketika itu Rasulullah berdiri ke atas mimbar, dan setelah membaca tahmid kemudian beliau berpidato : “Apa yang terjadi dengan utusan yang aku kirim ke Bani Asad, ia mengatakan ini untukmu dan ini hadiah buatku ? Lihatlah !!! Seandainya dia hanya duduk-duduk di rumahnya atau rumah orangtuanya apa mungkin ada orang yang datang memberinya hadiah seperti ini ? Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tidak lah ia membawa apapun walau hanya sedikit kecuali kelak di hari kiamat akan dipikulkan ke atas pundaknya, walaupun itu hanya seekor unta, sapi atau seekor kambing”. Kemudian Rasulullah mengangkat tangannya sampai kelihatan ketiak beliau seraya berkata : “Ya Allah… bukankah telah aku sampaikan ? Ya Allah.. saksikanlah .. !! (HR. Bukhari & Muslim)

  • HUKUM SYARI’AH TENTANG SUAP
Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda : “Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”. (Shahih Riwayat Ibnu Hibban) dalam riwayat Imam Ahmad ditambahkan : “dan juga yang menjadi perantara dari keduanya”.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata : “Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam melaknat ”. (Shahih Riwayat Al Hakim)

Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda : “Penyuap dan yang disuap tempat mereka adalah neraka jahannam”. (HR Thabrani dengan periwayat yang terpercaya/tsiqah) [1]

Abdullah bin Mas’ud berkata : “Suap menyuap dalam masalah hukum adalah kekufuran (pelakunya bisa dikafirkan) sedangkan di kalangan orang biasa adalah dosa yang sangat keji”. (HR Thabrani dengan periwayat yang terpercaya/tsiqah) [2]

Penjelasan
Kufur atau kafirnya orang yang melakukan suap dalam soal hukum bukan karena tindakan penyuapannya, tetapi karena ia merubah yang halal menjadi haram atau yang haram menjadi halal. Tindakan seperti telah disepakati oleh ulama sebagai salah satu penyebab kekufuran.

  • HUKUM SYARI’AH TENTANG RIBA
Dari Abu Hurairah Radhiyallohu 'Anhu Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda :“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang pasti akan menghancurkan kalian ! Apakah tujuh hal itu ya Rasulullah ? : “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali atas dasar kebenaran (al haq), memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang berkecamuk, menuduh wanita muslimah berbuat zina” (HR. Bukhari & Muslim)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallohu 'Anhuma, Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda “Pintu masuk menuju riba lebih dari tujuh puluh buah, dan riba yang paling ringan, (hukumnya) adalah sama seperti seorang laki-laki menyetubuhi ibunya sedangkan seorang muslim”. (HR Al Baihaqi dalam Syu’abil Iman)

  • 4 TAHAPAN PENGHARAMAN RIBA DALAM AL QUR’AN

  • Tahap Pertama
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (QS An Nisa’ 160 – 161)

  • Tahap Kedua
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (QS Ar Ruum 39)

  • Tahap Ketiga
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Ali Imron 130)

  • Tahap Keempat (terakhir)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.(QS Al Baqarah 275)

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” (QS Al Baqarah 276)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS Al Baqarah 277 - 279)

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”. (QS Al Baqarah 280 - 281)




[1] Jam’ul Jawami’ karangan Imam Syuyuthi juz I halaman 12956

http://nur-muslim.blogspot.com/2011/08/korupsi-suap-dan-riba-dalam-pandangan.html