Selasa, 28 Juni 2011

Wejangan Kawruh Beja Sawetah


(Wejangan Pokok Ilmu Bahagia)
Ki Ageng Suryomentaram

Senang – Susah

Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukan-kah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa “jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”.

Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi, pendapat bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.

Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari pinjaman. Di dalam men-cari pinjaman itu ia merasa: “Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah aku celaka dan merasa malu selamanya”. Andaikata ia gagal memperoleh pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar. Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak dapat menanggap (mempertunju-kan) wayang dan tidak dapat mengadakan janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega hatinya. “Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil. Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari uang untuk membayar hutang itu kembali.” Demikianlah, maka jelaslah bahwa tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka.

Demikian juga keinginan yang tercapai tidak menyebab-kan orang merasa bahagia. Misalnya orang berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: “Jika si Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah aku.” Dibayangkannya: “Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan.” Tetapi bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawin-an bahwa sesudah seminggu saja sudah terjadi pertikaian.

Jadi, teranglah bahwa jika keinginan itu tercapai, maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan celaka. Kenyataannya, bahwa senang dan susah itu tidak berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau mengalami susah selama tiga hari tanpa senang. Pengalaman semacam itu tidak akan terjadi dan tidak mungkin dapat dialami.

Mulur (Memanjang)

Yang menyebabkan senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega, puas, tenang, gembira. Padahal keinginan ini bila tercapai pasti mulur, memanjang, dalam arti meningkat. Ini berarti bahwa hal yang diinginkan itu meningkat entah jumlahnya entah mutunya sehingga tidak dapat tercapai dan hal ini akan menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat ber-langsung terus menerus.

Misalnya menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru. Kata hatinya: “Bila aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia, yakni tetap senang. Pada hari besar nanti, aku dapat melancong ke mana-mana.” Andaikata sarung baru itu dapat dibelinya ia pun tidak akan bahagia, melainkan bergem-bira sebentar kemudian susah lagi. Oleh karena keinginannya itu mulur, maka ia merasa: “Memang, meskipun sarungnya sudah baru, ikat kepalanya pun harus baru.” Maka ia ingin membeli ikat kepala, tetapi uangnya tidak cukup, maka gagallah ke-inginannya dan susahlah ia. Demikianlah senang tidak berlang-sung terus menerus.

Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat kepala baru, pasti keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata: “Sekarang sarung dan ikat kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya? Tidakkah harus baru pula?”

Kemudian bila pakaiannya baru sudah ada, tentu keinginannya mulur lagi. Sandalnya, arlojinya, kendaraannya, rumahnya harus baru pula. Bila semua itu sudah ada, pasti keinginannya akan mulur lagi: “Sekarang semua barang sudah baru, mengapa isterinya masih yang lama saja. Agar tidak dikatakan aneh maka ia mencari isteri baru.” Bila nanti mem-peroleh isteri baru, pasti mulur lagi: “Anaknya pun harus ada yang baru karena mengapa yang ada hanya anak dari isteri lama saja?” Demikianlah keinginan itu mulur sehinga apabila apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa senang itu tidak tetap adanya.

Keinginan itu terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat. Mencari semat ialah mencari kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari derajat ialah mencari keluhuran, kemulia-an, kebanggaan, keutamaan. Mencari keramat ialah mencari kekuasaan, kepercayaan, agar disegani, agar dipuja-puji.

Misalnya orang mencari semat/kekayaan agar ia berpeng-hasilan tetap. Rasa hatinya berkata: “Jika aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah saja, aku tentu bahagia. Tidak seperti sekarang ini, kadangkadang hanya tiga rupiah, bahkan kadang-kadang juga rugi.” Bila usahanya berhasil, maka dalam kenyataannya ia tidak bahagia, namun hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Ini disebabkan karena keinginannya mulur sebagai berikut: “Ternyata penghasilan sepuluh rupiah ini tidak membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan dua puluh lima rupiah, barulah aku akan benar-benar bahagia.” Nanti bila sudah memperoleh dua puluh lima rupiah keinginan pun mulur lagi. “Kalau aku hanya menerima dua puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku bahagia. Bahkan hal itu akan menambah banyak hutangnya, karena dipercaya untuk membeli dengan bon, hingga ke sana ke sini aku membuat bon.

“Hanya jika aku berpenghasilan seratus rupiah, baru aku benar-benar bahagia.” Nanti bila ia berhasil memperoleh seratus rupiah keinginannya pun mulur lagi dan ia ingin dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai berpenghasilan beribu-ribu rupiah, berjuta-juta rupiah masih kurang terus. Demikianlah keinginan itu mulur sampai pada suatu ketika ia tidak mungkin dipenuhi dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap adanya.

Demikian pula dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang sudah menjadi asisten wedana, pasti ke-inginannya mulur dan ia ingin menjadi wedana. Kemudian setelah menjadi wedana, tentu keinginannya mulur lagi dan ia ingin menjadi bupati. Sekalipun sudah menjadi raja, ia kemudian ingin menjadi raja dari semua raja. Andaikata terlaksana menjadi raja dari semua raja, pasti hatinya berkata. “Ternyata menjadi raja dari semua raja itu tidak membuat aku bahagia, karena me-merintah manusia itu ternyata bukan main banyak kesulitan-nya”. “Mungkin kalau menjadi raja jin, barulah aku benar-benar bahagia. Bila sudah menjadi raja jin, pasti mulur lagi, ingin menjadi raja binatang, kutu, serangga, yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek dan sebagainya. Demikian mulurnya keinginan sampai apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya dan oleh karena itu ia kembali susah la-gi. Jadi senang itu tidak tetap.

Demikian pula dalam usaha memperoleh keramat atau kesaktian. Misalnya jika orang telah memiliki kesaktian dengan dapat menyembuhkan orang sakit lumpuh dengan meniupnya saja. Ia belum juga bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi, karena mulurnya keinginannya. Hatinya berkata: “Kalau hanya dapat menyembuhkan orang lumpuh dengan meniupnya saja, aku tidak berbahagia. Akan tetapi kalau dapat menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena siapapun akan percaya, segan, takut kepadaku dan akan me-mujaku.” la akan berusaha ke sana sini untuk dapat menghidup-kan orang mati. PadahaI sekolahnya untuk mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat menghidup-kan dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. “Celakalah aku nanti. Jika setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari mana-mana pasti akan dibawa kemari semua, dan aku disuruh menghidupkannya. Halaman rumahku pasti akan penuh dengan bangkai anjing, babi hutan dan lain-lain.

Mungkin kalau aku dapat mengeluarkan sukma dari badan, aku baru benar-benar bahagia. Aku akan dapat me-layang-layang mengelilingi dunia melihat negeri Belanda, negeri Cina, tanpa melakukan perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak kehilangan uang untuk bekalnya.” Ia akan ke sana ke sini berusaha keras supaya bisa melepaskan sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk mempelajarinya belum ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari raganya, ia pun tidak akan benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi. Hatinya berkata “Susahlah aku bila sukma yang acapkali dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Namun manakala aku bisa menghilang, pas-tilah aku betul-betul bahagia. Aku akan dapat menggaruk uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya dan tiap kata ada orang sedang menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan tidak usah bekerja, aku dapat memiliki banyak uang, dan apa pun kuhendaki pastilah tercapai”.

Bila ia kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya mulur lagi, sehingga ia ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya. Demikianlah mulurnya keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak dapat ia peroleh, maka susahlah ia.

Jadi, jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha mencapai semat (kekayaan), derajat (kedudukan), keramat (kekuasaanl, apabila sudah terlaksana pasti akan mulur. Maka senang itu tidak tetap sifat-nya.

Mungkret (Menyusut)

Demikian pula rasa susah pun tidak tetap. Karena susah itu disebabkan tidak tercapainya keinginan yang berwujud rasa tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret (menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu berkurang baik dalarm jumlah mau-pun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang. Jadi rasa susah itu tidak tetap.

Bila keinginan yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti ia akan mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila dapat terpenuhi keinginan itu. Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu terpenuhi dan timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap adanya.

Misalnya orang lapar ingin makan, tentu dipilihnya lauk-pauk yang serba lezat, seperti daging, telur dan sebagainya. Tetapi bila keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret, sehingga makan nasi dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam pun tidak diperolehnya pasti keinginanya mungkret lagi, sehingga makan ketela bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh, pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja, cukup sejuklah lidahnya.

Contoh yang makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin mempunyai seorang isteri, maka dipilihnya tentu yang cantik, masih perawan, kaya, keturunan priyayi, cerdas, berbakti, cermat, cinta suami dan seterusnya. Bila keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun tidak benar-benar celaka, melainkan susah sebentar, kemudian senang kembali.

Oleh karena keinginannya mungkret, maka rasanya, “Walaupun syarat pilihanku tidak terpenuhi semua, asal saja cantik wajahnya bolehlah” Jika yang cantik pun tidak diperoleh-nya, tentu keinginannya mungkret lagi: “Walaupun tidak cantik asal saja masih perawan” Bila ini pun tidak berhasil, mungkret lagi keinginannya “Walaupun seorang janda asal saja belum punya anak.” Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti keinginan-nya mungkret lagi: “Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia sehat” Bila keinginan ini pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi keinginannya: “Walaupun cacat, asalkan berwujud orang” Pada-hal mencari isteri dengan syarat asal berwujud orang saja, pastilah tidak sukar, maka ia lalu merasa senang lagi.

Dari sebab itulah penderita-penderita cacat, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang bersuami/isteri. Sebab satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret keinginannya. Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diingin-kan itu tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap.

Jadi, jelaslah bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai ini mesti mulur sehingga yang diinginkan tidak mungkin tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai ini mesti mungkret sehingga apa yang di-inginkan itu mungkin tercapai, maka akan tercapailah keinginan itu dan rasa senang timbul.

Jadi, keinginan itu bila mungkret akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa yang diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret. Mungkret, tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tercapai, susah, mungkret lagi. Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda hingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.

Rasa Sama

Manusia itu mempunyai keinginan, yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Sifat ini yang menyebabkan rasa hidup orang sejak kecil sampai tua, pasti bersifat sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Siapa saja dan di mana saja rasa hidup orang tentu bersifat sebentar senang, sebentar susah, karena semuanya mempunyai keinginan. Jika tidak mempunyai keinginan, maka ia bukanlah manusia, dan tiap keinginan pasti bersifat seperti di atas tadi.

Jadi, rasa hidup manusia sedunia ini sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Sekalipun orang kaya, miskin, raja, kuli, wali (aulia), bajingan, rasa hidupnya sama saja, ialah sebentar senang, sebentar susah. Yang sama adalah rasanya senang-susah, lama-cepatnya, berat-ringannya. Sedang yang berbeda adalah halnya yang disenangi/disusahi.

Umpama orang kaya senang dapat mendirikan pabrik dan orang miskin senang dapat mendirikan kendil (periuk nasi). Kesenangan kedua orang tadi pada hakekatnya sama. Seorang raja merasa senang bahwa ia dapat menyerbu sebuah kota lawannya, dan memboyong (membawa pulang) puteri. Sedang-kan seorang kuli kereta-api merasa senang bila dapat men-jelajahi gerbong-gerbong dan memboyong (mengangkat) koper. Kedua orang itu sama di dalam merasa senang.

Seorang wali (orang sakti) merasa senang bila dapat terbang di angkasa, sedangkan seorang bajingan merasa senang pula dapat mencopet barang, kedu-anya sama di dalam merasa senang.

Tetapi seorang miskin sering beranggapan bahwa orang kaya itu tidak pernah susah. Anggapan demikian itu keliru, sebab diri orang kaya pun berisi keinginan yang bila tercapai pasti mulur. Misalnya seorang kaya raya, memiliki perusahaan kendaraan bis. Walaupun sudah mempunyai beratus-ratus bis, keinginannya tentu mulur. Ia tentu ingin mempunyai kereta api. Setelah mempunyai kereta api, pasti keinginannya mulur lagi, ia ingin mempunyai kapal laut. Sebelum keinginan mempunyai kapal laut tercapai, tiba-tiba ia menghadapi masalah berdirinya perusahaan bis baru sehingga ia merasa susah karena khawatir kalau disaingi. Maka, orang kaya bagaimanapun, rasa hidupnya tentu sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.

Demikian pula seorang wali (aulia) sering dikira tidak pernah susah. Perkiraan demikian itu keliru, karena wali pun berisikan keinginan. Misalnya seorang wali yang sakti, seperti dalam dongengnya Sinuhun Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Ia raja dan juga wali dan ketika ia hendak pergi ke Banten dengan jalan terbang, dan itu terlaksana, maka senanglah ia. Tetapi ketika hendak pulang ke Mataram, juru tamannya meninggalkannya, maka rontoklah bulu sayapnya, hingga susahlah ia.

Jika wali yang bagaimanapun, rasa hidupnya pasti sebentar senang, sebentar susah. Apabila mengerti bahwa rasa orang di dunia sama saja, yakni sebentar senang, sebentar susah, bebaslah kita dari penderitaan neraka iri hati dan kesombongan.

Iri dan Sombong

Iri adalah merasa kalah terhadap orang lain, dan sombong adalah merasa menang terhadap orang lain. Iri dan sombong inilah yang menyebabkan orang berusaha keras, mati-matian, jungkir balik, untuk memperoleh semat (kekayaan), derajat (kedudukan) dan keramat (kekuasaan).

Hatinya berkata: “Sebaiknya kucari uang sebanyak-banyak-nya agar menjadi kaya seperti orang itu, dan jangan sampai miskin seperti orang ini; agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek orang itu. Dan aku harus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti orang itu, dan jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti orang itu, dan tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari keramat (ke-kuasaan) yang besar, supaya berkuasa dan dapat menaklukkan orang itu. Jangan sampai lemah dan ditaklukkan orang ini.” Begitu hebat usahanya, hingga ia merasa “lebih baik mati jika tidak tercapai”

Perasaan “lebih baik mati jika tidak tercapai” itu bila sering terlintas dalam pikiran, dapat membangunkan tekad yang aneh-aneh dan bertapa yang aneh-aneh.

Orang yang sedang dihinggapi iri-sombong ini cenderung mencari guru-guru atau dukun-dukun. Pada guru atau dukun itu dimintanya petunjuk: “Bagaimana kyai, hidupku ini mengapa senantiasa susah. Apakah memang nasibku harus dibenci orang? Bagaimana baiknya?” Jika guru atau dukun itu mengatakan: “Sanggupkah anda bertapa secara ditanam selama empat puluh hari? Itu memang berat tetapi bila diberikan karunia, tentu nasibmu akan lebih baik.” Makin gelap pikirannya namun karena terbenam dalam rasa iri-sombong, ia akan menyanggupi-nya: “Baiklah saya bersedia ditanam, asal dapat karunia. Andaikata aku gagal dan mati, itupun justru lebih baik dari pada hidup sekali saja menjadi buah ejekan tetangga-tetangga, kesana diejek, kesini diejek.” Bilamana benar-benar digali lobang untuknya dan ia memeriksanya serta menengok ke kanan ke kiri, tiba-tiba ia merasa ngeri: “Kyai, jika penguburan diriku ditangguhkan saja sampai setelah tanggal dua saja, bagaimana?”

Bila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia itu sama, teranglah pandangannya. Kemudian ia tahu bahwa orang yang ditanam selama empat puluh hari, pasti akan mati karena tidak dapat bernapas. Mengingat bahwa jika dibungkam selama dua menit saja, orang sudah kehabisan napas, bagaimanakah bila dita-nam empat puluh hari?

Idam-idaman orang yang iri hati atau sombong ialah asal dapat melebihi orang lain dalam segala hal. Dalam hal makanan, pakaian, perumahan, keluarga, anak-anak dan sebagainya, ia ingin melebihi orang lain. Sedangkan orang-orang lain pun ingin menyaingi atau melebihi orang lain lagi. Dari itu, beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah satu sama lain bersaingan sehingga semuanya jatuh ke bawah.

Bila dalam usahanya untuk melampaui orang lain ia sering tergelincir bahkan ia justru dilampaui orang lain, maka kesallah hatinya, “Baik, sekalipun aku kalah asal saja tetanggaku itu hidupnya merana, maka senanglah hatiku.” Sedangkan tetangga-nya pun berusaha menyusahkan orang lain.

Dari itu, beribu-ribu dan berjuta-juta manusia bila di-jangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah saling menyusah-kan.

Bila dalam usahanya menyusahkan orang lain, sering berbalik menyusahkan diri sendiri maka ia masih tinggal dapat mengumpat orang lain. Sedangkan orang lain pun mengumpat orang lain lagi. Maka, beribu-ribu dan berjuta-juta manusia, bila dihinggapi iri-sombong, tindakannya hanya saling mengumpat. Bahkan tiap kali bercakap-cakap dengan suami/isterinya tidak lain hanya menjelekkan tetangganya, sampai pada soal yang kecil-kecil, misalnya: “Sesungguhnya si anu itukan sudah payah betul. Lihat saja surat gadainya sudah daluwarsa; pohon-pohon kelapanya sudah digadaikan dan ia hanya kebagian yang hanya cukup untuk dimakannya sendiri.”

Padahal untuk melebihi seseorang saja sudah susah-payah, memaksakan diri bertirakat sampai luar batas, Nglawet (nama tempat bertapa), Gua Langse (di pantai Parangtritis, Yogya) dan Gedancer (tempat bertapa). Bila ia telah dapat melebihi seseorang, ia akan melihat bahwa ada orang lain lagi yang me-lebihinya. Sedangkan jumlah orang yang melebihinya tidak ter-hitung banyaknya.

Apalagi untuk melebihi orang lain dalam hal perincian, pastilah tidak akan berhasil, sekalipun sudah bertirakat segala. Misalnya orang melebihi orang Iain dalam kekayaannya, tetapi kalah dalam kedudukannya, lalu berusaha keras untuk melebihi kedudukannya. Kalau sudah melebihi kedudukannya, tetapi ka-lah kekuasaannya, ia akan berusaha keras untuk melebihi ke-kuasaannya. Kalau sudah melebihi kekuasaannya, tetapi kalah tampan wajahnya, ia akan berusaha keras untuk melebihi ketampanannya. Misalkan ia sudah menang dalam hal ketam-panan wajahnya, tetapi kalah muda dalam usia, ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih muda tampaknya.

Karena dalam janggrungan (pesta dengan tarian di mana penari wanita menari bersama dengan tamu laki-laki) orang-orang muda dipersilakan masuk gelanggang untuk menari lebih dulu. Akan tetapi bila ia lebih muda ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih tua, karena orang-orang tua itu dalam pesta-pesta makan selalu dipilihkan makanan yang serba empuk.

Perasaan orang yang irihati-sombong ini, tiap ka-li menyumpahi orang, jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Bila melebihi, dalam hatinya mengejek, “Lihat si Anu itu akhirnya celaka, karena tidak mau percaya padaku, tidak mau meniru jejakku, tentu saja celaka.” Tetapi bila diungguli ia merasa penasaran: “Tidak he-ran si Anu itu kaya, karena bukan main kikirnya. Bila ia buang air kedapatan kacang kedele dalam kotorannya, maka kedele itu dikorekinya dari kotorannya.”

Padahal tiap kali orang ke luar rumah pasti ia bertemu orang yang jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Maka hidup orang sedari kecil sehingga tua, bila dihinggapi iri-sombong, hanya merasa mengejek dan diejek orang.

Jika orang hendak mengetahui rasa iri-sombong atau lebihnya sendiri, yang jelas dalam pergaulan, maka hal itu dapat ia jalankan bila sedang nonton pasar malam, menghadiri pesta perjamuan dan sebagainya. Bila di situ orang merasa kalah baik sarungnya ia akan meraba-raba ikat kepalanya dan berkata: “Ikat kepalaku lebih baru.” Bila ikat kepalanya dirasakannya masih kalah, diangkatlah dadanya dan diperlihatkan bajunya “Bajuku memang baik.” Bila ia merasa kalah, diangkatlah sarungnya dan diperlihatkan celana dalamnya, “Celanaku menang lebar.” Bila toh masih merasa kalah, jengkellah ia, maka dikeluarkan pipanya, “Tetapi pipaku menang panjang.”

Pandangan orang yang iri-sombong terhadap semua keadaan dan kejadian di dunia, terbalik-balik, tidak benar. Misal-kan orang ingin memiliki sepeda, dari kerasnya keinginannya ia merasa “Benar-benar aku menderita bila tidak memiliki sepeda, kalau barang-barang lainnya tidak kuhiraukan.” Maka jika dijumpainya seorang mengendarai sepeda, apalagi jika pengen-dara itu tetangga yang dibencinya dan hendak dilebihinya, dan justru dirinya kini jatuh dikalahkan maka begitu ia mendengar suara “kring” bel sepeda itu, terkejutlah ia serentak. Pulang rumah dengan gelisah tidak bisa tidur, hatinya penasaran dan dijelekkannya lawannya, “Tidak heran si Anu itu memiliki sepeda, karena hidupnya tidak lumrah (lazim), bermuka tebal. Lain dengan aku ini yang tidak tega hati menyikut orang”. Demikian pandangan orang terbalik-balik disebabkan rasa iri-sombong. Benarkah orang mengendarai sepeda itu sengaja membuatnya terkejut, gelisah? Tentu tidak!

Jadi, sangat hebatnya pandangan terbalik-balik itu sehingga membikin orang, sehabis memandang perempuan cantik atau laki-laki tampan, maka membenci suami/isterinya. Hatinya mengomel, “Bila kurasakan, suami/isteriku ini memang sungguh-sungguh jelek, ya rupanya, ya jelek hatinya. Kalau sampai menjadi jodohku ini pasti tidak melalui jalan sewajarnya. Dulunya pasti aku diguna-guna sehingga aku terpikat kepada-nya.” Demikianlah terbalik-baliknya pandangan orang yang iri-sombong. Padahal wanita cantik atau laki-laki tampan pastilah tidak sengaja membikin ia benci pada suami/isterinya.

Tenteram

Apabila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia sama saja, bebaslah ia dari penderitaan neraka iri hati-sombong, kemudian bisa masuk sorga ketenteraman. Artinya dalam segala hal bertindak seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya. Ia akan dapat merasakan rasa hidup yang sebenar-benarnya, yaitu mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.

Sebab ketika dihinggapi iri-sombong, orang tidak dapat merasakan rasa hidup yang sebenarnya. Dalam hal makan missalnya, walaupun setiap hari makan, orang tidak merasa-kan makanannya, tetapi yang dirasakan hanyalah makanan tetangga-tetangganya. Kemudian mengeluhlah ia, “Kalau si Anu itu memang senang hidupnya, makannya terjamin tiga kali sehari, sepiring penuh, lauk-pauknya enak-enak; berganti-ganti telur daging. Lain dengan diriku ini serba celaka, makannya tidak menentu, lauk-pauknya tidak lain tidak hanya garam sambel, paling mujur tempe. Bila ingin daging ayam, hanya mendapat pekerjaan membubuti (mencabuti) bulunya dan membersihkan isi perutnya.”

Bilamana bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk ke dalam sorga ketenteraman, ia akan dapat menasihati dirinya sebagai berikut, “Lho, bagaimana ini, orang mau makan kok menggerutu. Makannya enak atau tidak, jika enak teruskan-lah, jika tidak enak hentikanlah.” Teranglah pandangannya, maka mengerti maksud tujuan orang makan yaitu enak (lezat) dan kenyang. Maksud tujuan ini sudah tercapai, karena tiap kali merasa Iapar, makanlah segala apa yang lazim dimakan orang, maka pasti enak, dan kalau banyak jumlahnya pasti kenyang. Maka tenaga kaki-tangan berkelebihan untuk mencari makanan yang enak serta mengenyangkan itu.

Jadi, rasa hidup yang sebenarnya sebentar senang, sebentar susah, dalam hal makan pasti sebentar enak, sebentar tidak enak, sebentar kenyang, sebentar lapar. Tetapi bila dihinggapi iri-sombong, orang tidak memperdulikan enak atau kenyang, melainkan berusaha melebihi orang lain.

Jika hendak mengetahui iri-sombong atau keinginannya sendiri untuk melebihi orang lain, yang jelas bila kebetulan sedang bersama orang banyak dalam kedai makanan, baru saja datang orang segera berteriak “Godog!” (minta direbuskan suatu makanan). Kemudian baru saja masakan tadi disodorkan, ia sudah minta lagi “Goreng! Cabenya biar banyak!” Bila dilihatnya tamu lain memegang telur, ia pun mengambil ayam goreng, dipegangnya dengan kedua tangannya. Jika toh masih merasa kalah, hatinya penasaran diangkat kakinya keatas meja sembari bersiul, sekalipun tidak bersuara.

Oleh karena dihinggapi iri-sombong sehingga gelap pandangannya, maka walaupun sudah beranak-cucu, orang tidak dapat merasakan rasa bersuami/isteri. Setiap kali menjumpai suami/isterinya, yang di-rasakan suami/isteri orang lain, “Si Anu itu hidupnya memang enak lantaran mempunyai suami/isteri yang menyenangkan, perhatiannya besar, lagi setia. Lain dengan diriku ini serba celaka, mempunyai suami/isteri rewel sekali, sedikit-dikit marah, sedikit-dikit marah.”

Bila sudah bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk sorga ketenteraman, orang lalu dapat menasihati dirinya: “O, bagaimana ini, orang bersuami/isteri kok mengomel. Sesungguhnya perkawinannya enak atau tidak, jika enak diteruskan, jika tidak enak ya diceraikan saja.” Maka tenanglah pandangannya dan mengerti bahwa rasa bersuami/isteri itu nikmat.

Bila ingin mengerti kenikmatan bersuami/isteri, ialah pada waktu malam hari udara dingin, lagi turun hujan, berdesak-desak dengan suami/isteri pun hangat. Bila pinggangnya kaku pun lantas lemas, tidurnya pulas, bangun pagi merasa segar, bekerja penuh semangat. Kebalikannya jika tidak bersuami/isteri tidak demikian nikmat. Pada malam yang dingin, apalagi turun hujan, badannya benar-benar dingin. Berdesak-desak hanya dengan balai-balai, pinggangnya kaku tetap kaku, ingin tidur tidak dapat memejamkan mata, dari pukul sembilan hingga pukul tiga malam belum juga pulas karena memikirkan suami/-isteri orang lain. Maka pada duda, janda, jejaka, gadis, bila dijangkiti iri-sombong, seringkali betah bergadang. Tetapi bila tidak, hanyalah sekali tempo saja.

Jadi rasa hidup yang sebenarnya ialah mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Dalam perkawinan tentu sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat, seben-tar nikmat, sebentar tidak nikmat. Bila keluar dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman, orang akan bebas dari kewajiban yang berat-berat. Kebiasaan orang itu mewajibkan dirinya sendiri: “Orang hidup itu harus begini, makanannya harus begini, pakaiannya harus begini, rumahnya harus begini, tindak tanduk terhadap tetangga, suami/isteri serta anak-anak-nya harus begini.” Semua keharusan-keharusan itu adalah hal-hal yang berat sehingga tidak dapat dilaksanakan, karena ber-tentangan antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain.

Sebagai contoh, misalnya orang menerima undangan dari tetangganya yang punya hajat pesta mengawinkan anaknya. Ia akan mewajibkan dirinya untuk datang hadir dengan pakaian baru, serta membawa uang cukup untuk menyumbang dan main kartu domino. Tetapi keadaan tidak memungkinkannya untuk mempunyai pakaian baru dan uang, oleh karena itu ia merasa susah. Hendak datang hadir takut, dan hendak tidak hadir pun takut.

Bila lepas dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman ia akan dapat menasihati dirinya “Lho, bagaimana langkahku ini, mau datang takut, mau tidak datang pun takut. Apakah harus setengah datang dan setengah tidak datang? Lalu bagaimana wujud tindakan setengah datang dan setengah tidak datang itu? Apakah melongok-longok di depan pagar saja, ataukah terus menerobos masuk ke dapur, membantu cuci piring?”

Dengan kesadaran di atas, pandangannya semakin terang: “Sudahlah, jika mau datang, ya datang saja, jika tidak mau datang, ya tidak usah datang. BiIa tidak punya pakaian baru, pakailah pakaian lama, hal itu sudah sebenarnya. Bila tidak punya uang, maka tidak dapat menyumbang dan main domino, pun sudah selayaknya.” Jadi rasa hidup yang benar adalah sebentar senang, sebentar susah, yang dalam hal me-nentukan kewajiban mesti suatu waktu begini, suatu waktu tidak begini.

Bila orang mengerti bahwa rasa hidup manusia sedunia sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, bebaslah ia dari neraka iri-sombong dan masuklah dalam surga ketenteraman. Kemudian dalam usahanya mencari kekayaan, kedudukan, kekuasaan, dengan cara seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya, sebenarnya, yaitu hidup tenteram.

Rasa Abadi

Keinginan itu bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret, rasanya sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Pada hakekat-nya keinginan itu langgeng (abadi), artinya sejak dulu sudah ada, kini pun ada, kelak pun selalu ada.

Ketika orang masih dalam kandungan ibunya, keinginan-nya sudah ada, walaupun tidak disadarinya. Seperti halnya bayi menangis berkeinginan menyusu, Ketika masih sebagai darah pun sudah tumbuh keinginan yang menumbuhkan badan, kepala, tubuh, tangan, kaki dan sebagainya. Ketika belum ada dalam kandungan dan masih ada pada ayah dan ibunya pada waktu ayah dan ibunya saling mengungkapkan rasa suka sama suka, hal itu merupakan gejala keinginan manusia yang hendak lahir.

Demikian keinginan itu tidak berawal, ketika bumi dan langit belum ada, keinginan sudah ada. Demikian pula keinginan tidak berakhir, bila nanti orang sudah mati, badannya rusak, busuk, keinginan masih ada saja. Bila nanti bumi dan langit tidak ada, keinginan masih tetap ada. Jadi keinginan itu tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh karenanya keinginan itu abadi, Sebab keinginan itu barang asal. Barang asal itu tidak ada asalnya, tetapi justru berupa asal, dari itu abadi. Keinginan ialah asal dari pada hidup, benih hidup, yang menyebabkan hidup, oleh karenanya abadi.

Seperti juga asal semua barang jadi itu bersifat abadi. Wujud barang jadi (bahasa Jawa: dumadi) itu seperti rokok, korek api, cangkir, piring, rumah, dunia, bintang, bulan, matahari dan sebagainya. Asal ba-rang jadi misalnya rokok, adalah abadi, tidak berubah tidak berkurang atau bertambah. Bila rokok itu dibakar, rokok itu hanya menjadi abu; sedang asal dari pada rokok masih tetap ada, tidak kurang, hanya wujud-nya kini abu. Bila abu itu nanti ditumbuk, hanyalah menjadi tumbukan abu, sedang asal rokok masih tetap, tidak kurang tidak lebih, yang kini berwujud tumbukan abu. Sekalipun tum-bukan abu ini nanti dibuang ke luar dunia, asal rokok itu masih tetap ada tidak kurang tidak lebih, hanya kini ada di luar dunia.

Demikian pula keinginan, bagaimanapun dihancurkannya melalui kesusahan, penderitaan malu, tidak akan berubah bersama sifat-sifatnya. Sebab barang abadi itu pasti bersifat abadi pula. Keinginan itu bersifat sebentar mulur sebentar mungkret, sebentar mulur sebentar mungkret dan rasanya sebentar senang sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Sedang rasa manusia pun sebentar senang sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Jadi keinginan itu adalah manusia, maka manusia itu abadi (lestari), sebentar senang sebentar susah. Bila keabadian manusia ini dimengerti, orang akan bebas dari penderitaan neraka penyesalan dan kekhawatiran.

Sesal – Khawatir

Menyesal ialah takut akan pengalaman yang telah dialami. Khawatir ialah takut akan pengalaman yang belum dialami. Menyesal dan khawatir ini yang menyebabkan orang bersedih hati, prihatin, hingga merasa celaka.

Menyesal ini rasanya: “Andaikata dulu aku bertindak demikian, bahagialah sudah aku ini, tidaklah celaka begini.” Menyesal ini ialah takut akan pengalaman masa lampau yang menyebabkannya jatuh celaka, susah selamanya dalam keadaan miskin, hina, lemah.

Bila orang mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya sebagai berikut: “Walaupun dulu bagaimana saja, pasti rasanya sebentar senang sebentar susah.” Kemudian lenyap penyesalan semacam tadi. Tetapi jika tidak dimengerti, penyesalan itu berlarut-larut hingga takut akan hal yang aneh-aneh, seperti takut terkutuk, takut durhaka, rasanya: “Dulu andaikata aku tidak terkutuk oleh si Anu, tidak durhaka, tentu aku sudah bahagia dan tidak celaka.”

Kalau mengerti maka orang dapat menyadari, “Walaupun dulu terkutuk durhaka atau tidak durhaka, rasanya tentu seben-tar senang sebentar susah,” dan lenyaplah penyesalan semacam itu tadi.

Berlarut-larutnya penyesalan ini sampai menimbulkan ketakutan pada hal yang makin aneh ialah takut hidupnya tersesat. “Andaikata dulu tidak menjadi anak ibu dan ayah ini, pasti aku bahagia, dan tidak celaka seperti ini.” Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, ia dapat menasehati dirinya sendiri: “Walaupun dulu menjadi anak ibu-ayah ini atau tidak, tentu rasanya sebentar senang sebentar susah”, maka lenyaplah penyesalan tadi.

Ketakutan hidup tersesat di atas perinciannya sampai pada takut tersesat mempunyai suami/isteri dan anak si Anu, rasanya: “Andaikata dulu aku tidak salah memperoleh suami/-isteri dan anak si kunyuk (si dogol) itu, pastilah aku bahagia dan tidaklah celaka.” Tetapi bila ia mengerti bahwa orang itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: “Walaupun dulu aku mem-punyai suami/isteri dan anak seperti kunyuk-kunyuk itu atau tidak, rasaku tentu sebentar senang, sebentar susah,” maka lenyaplah penyesalan tadi.

Demikian pula kekhawatiran yang berupa takut akan pengalaman yang belum dialami, kalau-kalau jatuh celaka, susah selamanya, dalam keadaan miskin, hina, lemah. Rasanya: “Bagaimanakah nanti akhirnya bila aku tidak mencapai kebahagiaan yang kucita-citakan, tetapi tetap celaka seperti sekarang ini?” Tetapi jika orang mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: “Walaupun kelak akan terjadi apa saja, misalkan bumi dan langit merapat, rasanya pasti sebentar senang sebentar susah,” maka lenyaplah ke-khawatiran tadi.

Jika tidak dimengerti, kekhawatiran itu berlarut-larut sehingga takut akan hal yang aneh-aneh seperti takut kuwalat, takut durhaka. Padahal apakah kuwalat dan durhaka itu saja tidak dimengerti. Namun ditakuti juga, aneh bukan? Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: “Mana ada orang kuwalat atau durhaka? Kalau toh ada, rasanya pasti hanya sebentar senang sebentar susah. Katanya orang kuwalat itu kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Kalau begitu malah bisa merasakannya. Sebab yang sudah dialami berpuluh-puluh ta-hun hidup dengan kepala di atas dan kaki di bawah ternyata tidak enak. Seperti pada waktu cekcok de-ngan suami/isterinya atau tetangganya. Lihatlah, orang-orang dengan kepala di atas, kaki di bawah itu.” Dan lenyaplah kekhawatiran di atas tadi.

Berlarut-larutnya kekhawatiran itu sehingga takut akan hal yang semakin aneh seperti mati tersesat. Alangkah anehnya orang mati bisa tersesat. Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya: “Bagaimana mungkin orang mati itu tersesat. Kalau tersesat tentu ke arah hidup yang pernah dialami ini. Lagi pula jika ada mati tersesat tentu ada pula hidup tersesat. Padahal ketika hendak hidup tanpa ber-tanya kepada siapa pun, tanpa bekal apa-apa, ia menjelma tepat dengan hidung di atas mulut, kuping di kedua sisi, kepala di atas, kaki di bawah dan sebagainya, melalui jalan yang benar.” Kemudian lenyaplah kekhawatiran yang aneh tadi.

Khawatir takut mati tersesat ini perinciannya hingga takut setelah mati akan menjelma sebagai babi-hutan. Alangkah anehnya! Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, orang dapat menasehati dirinya: “Bagaimanakah orang mati dapat menjelma menjadi babi-hutan. Andaikatapun benar, maka orang justru dapat merasakan bagaimana hidup sebagai babi-hutan. Pasti hanya berdengus-dengus mencari ubi. Dan pastilah tidak takut dihentikan dari pekerjaan, melainkan takut di semak-semak hutan. Sedangkan yang dialami berpuluh-puluh tahun hidup sebagai manusia pun tidak enak. Misalnya ketika mencari pinjaman tidak berhasil, atau ditagih hutangnya tidak sanggup membayarnya. Enakkah hidup sebagai orang?” Kemudian lenyaplah kekhawatiran tadi.

Menyesal dan khawatir ini mengandung anggapan atau pendapat bahwa orang itu dapat memperoleh senang atau susah yang abadi. Maka dengan dikejar secara mati-matian rasa senang itu dan ditolaknya secara mati-matian rasa susah itu, menimbul-kan ketahayulan pada dirinya yang mengakibatkan penderita-an. Tahayul itu ialah menghubung-hubungkan sebab dan akibat yang tidak ada sangkut-pautnya. Sebagai contoh, misalnya orang berdagang sedang sial, tidak berani dagang, maka berkatalah: “Kesialan ini tentu lantaran aku tidak membakar kemenyan dan tidak bersembahyang pada malam menjelang hari Jum’at yang lalu, sehingga daganganku tidak laku.” Jelaslah membakar kemenyan dan bersembahyang itu tidak ada sangkut paut dengan kesialan dagangan tidak laku. Namun orang yang bertahayul itu menghubung-hubungkan juga.

Contoh lain yang lebih jelas, misalnya seorang anak tengah bermain, tiba-tiba sakit kejang-kejang, maka orang berkata: “Anak itu pasti dijegal oleh syaitan penunggu jalan perempatan itu, oleh karena itu kejang-kejang badannya.” Padahal jelas anak sakit kejang tidak bersangkut-paut dengan syaitan penunggu jalan. Untuk menerangkan syaitan itu apa, orang tidak tahu. Apakah syaitan itu berkaki dua atau empatkah, bertelur atau menyusuikah, orang tidak tahu. Namun orang bertahayul menganggapnya bisa menjegal.

Contoh yang lebih jelas lagi, tatkala gunung Merapi meletus, orang bertahayul menghubungkannya begini: “Peris-tiwa itu adalah pernyataan Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan) yang marah lantaran gagal dalam mencari korban untuk pesta perkawinan putra/putrinya, sehingga diletuskannya gunung Merapi, beledar-beledur-beledar-beledur.” Jelaslah Kanjeng Ratu Kidul tidak ada sangkut-paut dengan letusan gu-nung Merapi. Karena siapakah dan apakah Kanjeng Ratu Kidul itu saja, orang tidak tahu. Namun orang bertahayul memaksa menghubung-hubungkannya demikian.

Ketahayulan itu menyebabkan orang bertapa dan ber-pantang yang aneh-aneh, seperti merendam diri selama satu jam dalam tempo empat puluh hari, dengan pendapat bahwa: “Jika setiap malam merendam diri sambil mengucapkan mantera-mantera ini, dalam waktu empat puluh hari pasti aku akan mem-peroleh karunia dan senanglah aku selama-lamanya”. Tetapi bila me-ngerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya dan tahulah bahwa hasil orang merendam diri selama itu, hanyalah menggigil kedinginan semata-mata. Bahkan isterinya terlanjur kesepian kedinginan tidak dapat tidur sebab me-nunggu-nunggunya. Dalam pada itu mertuanya pun membenci karena melihat anaknya tidak dilayani sewajarnya melainkan ditinggalkannya tiap malam hanya untuk merendam diri.

Tindakannya berpantang yang aneh-aneh itu seperti pantang makan dan pantang tidur. Padahal orang lapar itu enaknya kalau makan dan orang mengantuk itu enaknya kalau tidur. Jadi orang itu memantang hal-hal yang enak-enak, namun mengeluh bahwa tidak pernah mengalami keenakan dalam hi-dupnya. Tetapi jika mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti bahwa ha-sil berpantangan makan dan tidur itu lapar dan kan-tuk belaka.

Pantangan aneh-aneh itu kalau berlarut-larut sehingga berpantang berdekatan dengan suami/isteri sendiri, enakkah rasa yang berpantang dan yang dipantang itu? Pastilah tidak. Itu pun belum tentu ia dapat bertahan dalam pantangannya. Nanti baru berjalan seminggu saja, bila tidak diawasi, diam-diam, su-dah menyerobot. Setelah itu saling menyesali: “Orang sudah dipesan sedemikian rupa! Orang sedang prihatin bertapa supaya memperoleh kurnia! Mengapa kamu pun masih mau saja dan kini semua usahaku batal, dan untuk mulai lagi aku tidak sanggup.”

Tetapi jika orang mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti bahwa hasil berpantang isteri sendiri adalah tidak betah. Demikian sifat katahayulan yang mendorong orang bertapa dan berpantang yang bukan-bukan, karena ber-pendapat bisa senang atau susah selama-lamanya.

Tatag (Tabah)

Apabila kita mengerti bahwa menusia itu abadi, keluarlah orang dari neraka menyesal-khawatir dan masuk surga ketabah-an. Ini berarti berani menghadapi segala hal. Berani menjadi orang kaya atau miskin, menjadi raja atau kuli, menjadi wali (orang suci) atau bajingan. Karena ia mengerti bahwa semua itu rasanya pasti sebentar senang, sebentar susah. Teranglah pan-dangannya dan mengerti bahwa semua pengalaman itu tidak ada yang mengkhawatirkan atau yang sangat menarik hati.

Pada pokoknya yang ditakuti itu adalah kesusahan, padahal orang tentu mampu menderitanya. Sudah terbukti beribu-ribu kesusahan yang dialami, ia mampu menderitanya. Kesusahan yang paling hebat adalah merasa sangat malu atau menderita sakit sangat berat. Sedangkan jika hanya sangat malu dan sa-ngat sakit saja, pasti orang mampu menderitanya. Wa-laupun ia selalu mengeluh: “Rasa malu kali ini benar-benar melukai hatiku, aku tidak kuat menanggungnya. Itu lain dengan pengalaman-pengalaman yang lampau!” Tetapi bila lepas dari neraka menyesal-khawatir dan masuk surga ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri sendiri yang sering bohong. “Malu yang mana yang kau tidak kuat menanggungnya? Kenyataan yang tengah dialami ini, benar menimbulkan rasa malu, benar-benar menyebabkan kau meringis sehingga kau benar-benar tidak berani keluar rumah menemui orang. Namun meskipun demikian kau tetap kuat menanggungnya juga.”

Demikian pula di waktu sakit, orang mengeluh: “Sakitku kali ini benar-benar berat, benar-benar aku tidak kuat me-nanggungnya. Lain dengan sakit yang lampau!” Tetapi bila lepas dari sesal-khawatir serta masuk surga ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri-sendiri yang biasa membohong: “Sakit yang manakah yang kau tidak kuat menderitanya? Kenyataan yang sedang dialami ini benar-benar sakit berat sehingga kau benar-benar merintih, namun meskipun demikian tetap kuat me-nanggungnya. Padahal betapapun hebatnya orang menderita sakit ia hanya berakhir dengan mati. Sedangkan kalau cuma mati saja ia mesti kuat menjalaninya, dan itu telah dialami oleh beribu-ribu orang yang mati. Kalau aku mati, pasti perjalananku sama dengan orang-orang yang telah mati itu.”

Oleh karena itu, bila orang kuat menanggung semua pengalaman dan dapat mencukupi apa yang diperlukannya maka tumbuhlah rasa kaya. Tiap kali merasa malu, asal saja meringis sudah cukup. Artinya orang tidak kehabisan rasa meringis bila mendapat malu dan tidak kekurangan rintihan bila menderita sakit. Dan menjelang saat kematian, asal saja berdiam diri sudah cukup.

Pada pokoknya yang diinginkan adalah rasa se-nang dan rasa senang ini pasti tercapai. Di mana saja, kapan saja, bagai-mana saja, arang mesti mengalami senang. Misalnya orang men-derita susah karena terbakar habis rumahnya. Bila ia menemu-kan sebuah celananya saja yang tidak turut terbakar, ia tetap bisa merasa senang. “Wah, untunglah celanaku tidak terbakar.” Misalnya orang menderita susah karena terlindas mobil kakinya hingga putus. Pada waktu sadar dari pingsannya ia pun masih dapat merasa senang. “Wah, untunglah kepalaku tidak terlindas sekalian.” Bila kepalanya pun kelindas hingga mati, masih ia bi-sa senang, “Wah, untunglah isteriku tidak ikut terlindas.”

Apabila orang mengerti bahwa semua peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang mengkhawatirkan dan tidak ada pula yang sangat menarik hati, maka teranglah pandangannya, serta bebaslah ia dari barang-barang di atas bumi dan di kolong langit ini. Karena ia mengerti bahwa barang-barang di atas bumi di kolong langit itu tidak dapat menyebabkan orang bahagia atau celaka. Juga tidak dapat menyebabkan orang senang atau susah.

Karena pada hakekatnya, yang menyebabkan senang itu ialah keinginannya tercapai, dan yang menyebabkan susah itu ialah keinginannya tidak tercapai. Tetapi bukanlah barang-barang yang diinginkannya.

Misalnya bila hujan dianggap menyenangkan, maka tiap kali turun hujan orang mesti senang. Tetapi Kenyataannya tidak demikian. Bagi orang yang sedang menyelenggarakan pertun-jukan ketoprak (sandiwara Jawa), bila hujan turun maka ia merasa susah. Kebalikannya, bila hujan dianggap menyusahkan, tiap kali hujan turun orang mesti merasa susah. Kenyataannya pun tidak demikian. Bagi petani yang sedang menanam padi, bila hujan turun maka ia merasa senang.

Contoh lain yang lebih gamblang dan terang. Bila orang bersuami/isteri yang mempunyai anak dianggap senang, maka setiap orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap senang saja. Padahal yang sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercekcok dengan suami/isterinya, dan anak-anaknya rewel, orang pasti merasa susah. Kebalikannya, jika bersuami/-isteri dan beranak itu dianggap susah, maka setiap orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap susah saja. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercumbu-mesra dengan suami/isteri dan menimang-nimang anaknya, pasti orang merasa senang.

Jadi, jelaslah bahwa barang-barang itu tidak menyebab-kan orang senang atau susah. Oleh karena itu, di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang-barang yang pantas dicari, ditolaknya atau dihindari secara mati-matian.

Mengawasi Keinginan

Manusia itu semua sama, yakni abadi. Rasanya sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah, demi-kian seterusnya. Bila kebenaran itu dimengerti, keluarlah orang dari penderitaan neraka iri-sombong, sesal-khawatir yang me-nyebabkan prihatin, celaka, dan masuklah ia dalam surga ten-teram dan tabah yang menyebabkan orang bersuka-cita, bahagia.

Setelah bersuka-cita dan bahagia, maka dapatlah orang menyadari dirinya sendiri sewaktu timbul keinginan apa-apa. Setiap keinginan itu pasti mengandung rasa takut kalau-kalau tidak tercapai. Keinginan inilah yang segera diyakinkannya: “Keinginan itu jika tercapai tidak menimbulkan bahagia, melain-kan senang sebentar yang kemudian akan susah lagi. Dan bila tidak tercapai pun tidak menyebabkan celaka, hanyalah susah sebentar yang kemudian akan senang lagi.” Maka ia bisa me-nantangnya: “Silakan keinginan, berusahalah mati-matian men-cari senang-senang abadi, dan berdayalah mati-matian menolak susah abadi, pastilah tidak berhasil. Kamu (keinginan) tidak mengkhawatirkan lagi”.

Bila orang dapat meyakinkan keinginannya sendiri demikian, lenyaplah rasa prihatin. Berbareng lenyapnya prihatin, tumbuhlah si pengawas keinginannya sendiri yang mengerti keinginannya sendiri.

Benih Pengetahuan

Si pengawas keinginannya sendiri ini ialah rasa aku, rasa ada. Orang itu tentu berasa aku, tidak bisa tidak berasa aku. Setiap berasa aku tentu berasa ada. Berasa aku tetapi tidak berasa ada, tidaklah demikian.

Si pengawas itu abadi karena ia itu barang asal. Barang asal itu tidak ada asalnya untuk membuatnya, tetapi malahan sebagai asal dari semua barang dan hal. Ia itu asalnya rasa aku-senang, aku-susah. Si pengawas ini abadi dalam mengawasi keinginan-nya sendiri yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret dengan rasa sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Rasa abadi yang mengawasi keinginannya sendiri itu, ialah abadi senang dan abadi bahagia.

Ketika si pengawas belum timbul, orang merasa “akulah berkeinginan, aku senang, aku susah.” Ia itu masih sebagai benih pengetahuan yang mengetahui tindak-tanduk manusia, serta belum timbul rasa senang dan bahagia. Wujudnya si pengawas ketika itu belum timbul, tetapi masih sebagai benih ialah seperti contoh berikut ini. Misalnya orang ingin buang air, dalam diri orang itu ada yang mengetahui dan mengerti “Aku ini tergesa-gesa menuju ke kakus, pastilah ingin buang-air.” Yang mengerti bahwa dirinya ingin buang air ini, tidaklah ikut berkeinginan buang air, akan tetapi hanya mengerti kehendaknya saja, yaitu si pengawas ketika belum tumbuh tetapi masih sebagai benih pengetahuan.

Contoh lain yang lebih jelas ialah orang yang makan cabe merasa pedas. Dalam diri orang itu ada yang mengetahui dan mengerti “Aku ini megap-megap mencari minuman, tentulah kepedasan.” Yang mengerti bahwa dirinya kepedasan ini tidak-lah turut kepedasan, melainkan mengerti bahwa dirinya kepe-dasan, yaitu ketika si pengawas belum timbul tetapi masih sebagai benih pengetahuan.

Contoh lain yang lebih dekat, misalkan orang merasa malu, dalam diri orang itu tentu ada yang mengetahui dan mengerti: “Aku ini pasti mendapat malu, karena meringis-ringis dan tidak berani keluar rumah” Yang mengerti dirinya memperoleh malu ini, tidaklah turut merasa malu, melainkan mengertinya saja, yaitu ketika si pengawas belum timbul, tetapi masih sebagai benih pengetahuan. Dan orang merasa “Akulah yang berkeingin-an, yang senang, yang susah, yang malu, yang kepedasan, yang ingin buang air, adalah aku.”

Bila si pengawas sudah timbul, lenyaplah rasa prihatin, kemudian orang merasa “Aku bukanlah keinginan”, dari sini ia akan merasa “Yang senang dan susah bukanlah aku”, dari sini ia merasa “Yang malu, yang kepedasan, yang ingin buang air bukanlah aku.”

Bahagia

Maka orang akan merasa “Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia.” Bila orang sudah mempunyai rasa “Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia”, maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri, ia merasa “Itu bukanlah aku.” Begitu juga dalam menanggapi dunia dengan segenap isinya dan semua kejadian-kejadian, orang pun merasa “Itu bukanlah aku.”

Demikianlah, rasa aku itu bahagia dan abadi. Karena itu, di mana saja, kapan saja, bagaimana saja, bahagialah orang itu. Demikianlah pengetahuan orang hidup bahagia.

Penutup

Demikian keseluruhan rasa-rasa manusia. Rasa-rasa yang diterangkan di sini hanyalah yang pokok-pokok saja. Adapun manfaatnya hanyalah sebagai batu loncatan untuk mempelajari perincian rasa-rasa sendiri.

Yang menjadi penghalang untuk mengetahui perincian rasanya sendiri ialah cita-cita dalam arti umum. Wujud cita-cita itu adalah: “Mencari senang abadi”, seperti yang telah dibahas dalam buku ini. Bila diteliti sampai benar-benar jelas cita-cita itu lenyap, artinya orang akan berasa bahwa “Cita-cita ini bukanlah aku.”

Bila cita-cita itu telah diketahui, dapatlah orang mengetahui perincian rasa-rasanya sendiri. Ternyata bekerjanya (prosesnya) rasa-rasa itu menurut hukum alam. Bila hukum alam itu diketahui, orang akan bertindak sesuai hukum alam itu dan merasa bahagia.

Kamis, 23 Juni 2011

Raja Jawa Mengantar Revolusi

George Donald Larson, dalam: Prelude to Revolution:Palaces and Politics in Surakarta, 1912-1942 – disertasi doktor untuk ilmu sejarah di Northern Illinois University, Dekalb, Amerika Serikat, 1979 – mengungkap peranan raja-raja Jawa. Ternyata Pakubuwono X dan para bangsawan politisi Keraton Surakarta bukan hanya mendukung, tapi terjun langsung dalam kancah pergerakan nasional. Berikut ini nukilan dari disertasi tersebut.

BELANDA mulai menggigit Mataram dari dalam ketika kerajaan itu sedang keropos, di akhir pemerintahan Amangkurat (1645-1677). Berkat campur tangan Kompeni (VOC), dinasti itu bernapas lagi. Tapi, sebagai imbalannya, VOC berhasil memaksakan dua perjanjian penting, mengenai konsesi ekonomi dan teritorial. Selanjutnya sejarah Mataram diwarnai cakar-cakaran dalam istana, pemberontakan bangsawan dan pejabat tinggi, serta permainan Belanda dalam konsensi ekonomi dan luas teritorial. Pada tahun 1746 Pangeran Mangkubumi, saudara Susuhunan Pakubuwono II (1726-1749), membelot dan mengibarkan perang sampai tahun 1755, hingga tercapainya perjanjian Giyanti. Hasilnya, separuh daerah Mataram dan gelar Sultan Hamengku Buwono buat Mangkubumi. Pemberontakan lain pun pecah. Kali ini Raden Mas Said, keponakan Mangkubumi yang membantu Mangkubumi pada tahun-tahun awal pemberontakannya, seorang yang berwibawa dan jago perang. Hasilnya, perjanjian di Salatiga tahun 1757: R.M. Said berhak memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, dan memperoleh 4.000 cacah dari wilayah Susuhunan Surakarta.

Terkeping-kepingnya Mataram oleh kalangan elite Jawa sempat dianggap kejadian sementara. Tapi setelah tahun 1755 muncul rasa khawatir, jangan-jangan kesatuan Mataram tidak kunjung pulih. Toh cita-cita kesatuan Mataram itu masih lekat, berkat “ramalan” Raja Jayabaya–penguasa daerah Jawa Timur dari abad ke-12. Ramalan itu menyebutkan, setelah didera penjajahan yang lama, akan tiba zaman kemerdekaan yang makmur sejahtera. Pakubuwono IV (1788-1820) terpanggil. Rencananya untuk menegakkan Surakarta dan Jawa Tengah nyaris menimbulkan perang lagi di tahun 1789 hingga 1790. Suhu panas itu baru dapat dikubur setelah Surakarta dikepung oleh pasukan Belanda. Di ekor abad ke-18 kerajaan-kerajaan Jawa semakin kehilangan pamor dan wilayahnya.

Tahun 1799 Kompeni ambruk akibat korupsi. Harta kekayaannya diambil alih oleh negeri Belanda waktu itu merupakan protektorat Prancis. Tangan kanan Napoleon, H.W. Daendels (1808-1811), dikirim ke Jawa dengan kekuasaan mutlak guna memperbaiki pemerintahan dan memperkuat pertahanan di wilayah Hindia. Ia menggebrak para penguasa pribumi. Kekuasaan mereka dikurangi. Para residen kulit putih diberi atribut kerajaan seperti payung emas dan tidak usah angkat topi untuk menghormati penguasa-penguasa pribumi. Wilayah dan penghasilan Keraton Surakarta dan Yogyakarta dipangkas. Walaupun pemerintahan Daendels pendek umurnya karena ditendang oleh Inggris, toh tangan besi Daendels ditiru oleh T.S. Raffles (1811-1816). Baru setahun berkuasa, ia sudah mencium bahwa Sultan dan Susuhunan diam-diam mengepalkan tangan. Sultan segera dicopot lalu dibuang, keratonnya dijarah. Perjanjian dengan kedua kerajaan itu diperbarui. Akibatnya, daerah dan pendapatan kerajaan menciut, administrasi pemerintahan dikontrol. Hak memiliki pasukan pun dicabut, tinggal segelintir kecil pengawal. Pemaksaan perjanjian yang mencekik itu menyalakan amarah.

Di bulan November 1815, hidung Raffles mengendus bau busuk dari Keraton Surakarta. Pemberontakan untuk memulihkan kejayaan Mataram itu dikenal dalam sejarah sebagai Perang Sepei atau Sepoy.Inggris, yang saat itu hendak meninggalkan Jawa, sengaja tidak mendakwa Susuhunan. Sebagai gantinya, salah seorang saudara Susuhunan diasingkan ke Ambon. Ketika kembali ke Jawa, Belanda bertindak lebih hati-hati. Setelah pemberontakan Pangeran Diponegoro – Perang Jawa (1825-1830), Yogyakarta yang dianggap biangnya, dikenai denda wilayah. Agar seimbang, kue Surakarta pun digigit. Banyumas dan Kedu di sebelah barat, Kediri serta Madiun di sebelah timur, lepas dari Yogyakarta dan Surakarta. Pakubuwono VI amat kecewa atas perampasan itu, lalu diam-diam pergi ke pantai Segara Kidul. Tapi ia tertangkap, ditawan atas tuduhan hendak menyulut pemberontakan, lalu dibuang ke Ambon. Setelah semua itu, sepanjang abad ke-19 Surakarta dan Yogyakarta pucat pasi.

Pada awal abad ke-20, Karesidenan Surakarta yang agraris sangat terbelakang dari kaca mata teknologi. Penduduk membengkak. Pada tahun 1905 tercatat 1.593.056 jiwa, tahun 1920 bertambah menjadi 2.049.547 jiwa, dan tahun 1930 meningkat menjadi 2.564.848 jiwa. Surakarta suram. Kekuasaan Susuhunan peot, taring pengadilan pun dirampas pemerintah Hindia Belanda. Pejabat-pejabat Belanda berkembang biak. Keadaan semacam ini membuat Susuhunan masygul dan kecewa.

Pakubuwono X

Dalam tulisan-tulisan ilmiah, peranan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dalam gerakan nasional Indonesia kurang terungkap. Padahal, Yogyakarta melahirkan Budi Utomo (1908) sebagai partai politik yang benar-benar pertama di Indonesia. Awal 1912 di Surakarta muncul Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik massa yang juga pertama di Indonesia. Walaupun SI dilahirkan di sebuah kerajaan Jawa, kemungkinan keterlibatan keraton dalam gerakan nasional seperti diabaikan. Bahkan beberapa sarjana menyebutkan, salah satu faktor utama perkembangan SI adalah adanya kejengkelan rakyat terhadap para bangsawan dan hukum keraton yang sudah kuno.

Arsip di Negeri Belanda menjelaskan bahwa sebenarnya pihak keraton terlibat dalam gerakan itu. Munculnya organisasi kebangsaan yang penting di kerajaan Jawa tak mengherankan. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa, perkembangan teknologi di kerajaan itu tampak terbelakang, tapi perkembangan kebudayaannya amat pesat. J.Th. Petrus Blumberger, penulis tentang gerakan nasionalis Indonesia yang paling perseptif, mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan itu merupakan tempat “jantung Jawa berdenyut”. Penulis lain menyebutkan bahwa, terutama sekali di daerah kerajaan, rakyat menunggu-nunggu datangnya Heru Cokro, sang juru selamat, sebagaimana telah diramalkan oleh Raja Jayabaya. Kalangan elite Jawa tahu ini. Kawula kerajaan, rakyat Jawa di daerah gubernemen (daerah Hindia Belanda), para pangeran, terutama Susuhunan, tetap dianggap sebagai poros. Setidak-tidaknya lambang semua kekuasaan di Jawa.

Kendati terpecah-pecah, daerah kerajaan masih dipandang sebagai sisa kejayaan dan kesatuan Mataram. D.A. Rinkes, asisten penasihat urusan pribumi pemerintah Hindia Belanda, menyebut cita-cita munculnya Mataram kembali tidak pernah sirna. Itulah yang memacu gerakan Sarekat Islam (1912 dan 1913), dan selanjutnya mempengaruhi pemikiran para politisi keraton sampai akhir zaman penjajahan, bahkan juga sesudah masa itu. Karena hak-hak dan statusnya dipereteli terus, para bangsawan politisi menerima gerakan nasionalis dengan simpati. Bila ada sikap amat hati-hati, itu agar mereka tidak ditangkap dan tak perlu berkubur di tempat pengasingan. Yang jelas, keraton-keraton Jawa berperan pada awal munculnya gerakan nasional di Indonesia, khusunya Keraton Surakarta dan Pakualaman.

Susuhunan Pakubuwono X di Surakarta merupakan tokoh sentral yang membingungkan. Bahkan mungkin kurang diperhitungkan oleh ke-13 orang residen dan gubernur Belanda yang ditempatkan di Surakarta sejak tahun 1893 hingga 1939. Kebanyakan orang Belanda menganggap Susuhunan lemah, tidak cakap serta patuh. Memang Pakubuwono tidak memperlihatkan sikap keras, apalagi hidupnya mewah, doyan makan enak, senang mengenakan pakalan kebesaran dengan lencana dan bintang-bintang kehormatan. Belanda juga menganggapnya percaya pada takhayul sebagaimana kawulanya percaya bahwa ia punya kekuatan gaib guna menyembuhkan orang sakit, memiliki keris dan senjata yang serba sakti. Nyatanya, dalam perkembangan selanjutnya, gambaran Susuhunan berbeda. Belanda sempat terkecoh oleh kesehatan Susuhunan.

Raja yang lahir tahun 1867 itu, dalam usia 32 tahun, menderita batu ginjal dan tidak dapat membatasi kemauannya. Belanda sudah memperhitungkan usianya dan menyiapkan pengganti yang sesuai dengan politik Hindia Belanda. Tapi ternyata ia baru wafat setelah 72 tahun. Sejalan dengan usianya, sikap dan wataknya semakin tegas. Patihnya yang amat berkuasa diganti atas perintahnya, sehingga kekuasaannya meningkat. Belanda menganggap ia kurang cakap dalam keuangan dan administrasi. Perhatiannya direbut upacara-upacara kebesaran dan politik.

Selama masa takhtanya yang panjang itu, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen/gubernur secara silih berganti, ia mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil sebagai “teman” pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat tetap kukuh. Jelas, ini kelihaian membawa diri. “Loyatitasnya” kepada Hindia Belanda memang meragukan Kontrak politik yang ditandatanganinya ketika naik takhta sebagai Susuhunan di tahun 1893 mencantumkan syarat, ia di copot jika ingkar pada persetujuan itu. Dalam pada itu, ia pun sadar sebagai cucu Pakubuwono VI yang di tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon. “Ia memang setia pada pemerintah Belanda. Tapi bahkan dalan tidurnya pun hidup naluri leluhurnya, naluri nenek-moyangnya naluri raja dan prajurit Timur,” kata seorang gubernur. Petunjuk bahwa Susuhunan mempunyai kecenderungan politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) padi atasannya. Secara teratur ia memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief – surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I Gelpke memperoleh kesan, Susuhunan bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia, termasuk orang-orang SI.

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Susuhunan kurang diperhitungkan Schneider merupakan salah seorang yang pertama-tama memperhitungkan pengaruh perjalanan Pakubuwono X ke luar daerah Walaupun perjalanan itu secara teoretis incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahu 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan politik Pakubuwono X, yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung. Peranan Susuhunan sebagai imam bagi masyarakat muslim di Surakarta, dengan gelar Panatagama – sehingga dapat dimengerti hubungannya dengan SI – diperhitungkan Belanda.

Penolakannya terhadap aktivitas misi-misi Kristen disebut-sebut sebagai fakto pesatnya perkembangan SI. Jika peranan Pakubuwono X itu dihubungkan dengan fajar nasionalisme di Asia dan semangat Pan Islamisme, Susuhunan tak boleh diremehkan. Di Surakarta, misi Kristen sulit memperoleh tanah, sekalipun untuk mendirikan rumah sakit. Akhirnya, Belanda meminta kepada Mangkunegoro, dan mendirikan rumah sakit di Jebres Golongan Islam di Laweyan, pusat orang-orang SI, sangat menentang kegiatan misi. Ketika golongan misi menerbitkan berkala dalam bahasa Jawa, Mardi Rahardjo, golongan Islam menerbitkan tandingannya, Medan Muslimin. Suasana agak memanas ketika pada tahun 1912 Pangeran Kusumodiningrat. kakak Pakubuwono X, menghadiri rapat komite anti kegiatan misi Kristen. Residen campur tangan, dan akhirnya sang pangeran menolak permintaan menjadi anggota komite. Memang tidak ada bukti keraton terlibat dalam pembentukan SI. Hubungan itu baru ada setelah terbentuknya sebuah perkumpulan saudagar batik setempat oleh R.M. Tirtoadisuryo, redaktw Medan Priyayi. Tirto telah mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia (Jakarta) tahun 1909, dan selanjutnya membentuk Sarekat Dagang Islam di Bogor tahun 1911. Di tahun 1912 ia mendirikan Sarekat Dagang Islam di Surakarta sebagai cabang perkumpulannya di Bogor. Tak lama kemudian ia mundur dari panggung, dan Haji Samanhudi, saudagar batik terkemuka di Laweyan, tampil sebagai pemimpin yang sesungguhnya.

Beberapa sarjana pengamat mengatakan, perkumpulan pribumi itu berdiri karena timbulnya persaingan dengan para pedagang Cina yang mendirikan industri batik. J.S. Furnivall, misalnya, menulis bahwa penggantian bahan kain batik buatan lokal (tenun) dengan kain impor (cambtics) sehingga para produsen batik pribumi harus membeli kain impor dari pedagang-pedagang Cina sangat menguntungkan pedagang Cina. Menurut Robert van Niel, H. Samanhudi-lah yang menundang R.M. Tirtoadisuryo, agar datang ke Surakarta untuk mendirikan perkumpulan dagang Indonesia di antara para saudagar batik setempat. Dan menurut Blumberger (asisten residen di Surakarta antara tahun 1913 dan 1916) penyebab pertama didirikannya Sarekat Islam ialah munculnya perasaan nasionalisme Jawa. Nasionalisme Jawa inilah yang meletupkan reaksi terhadap dominasi dan meningkatnya campur tangan asing dalam peri kehidupan orang Jawa. Maka, wajarlah bila SI Solo berharap bahwa Susuhunan dan pejabat-pejabat tinggi keraton membantu menentang pejabat-pejabat yang terpengaruh oleh pemerintah Hindia Belanda. Skors pelarangan kegiatan organisasi SI Solo salah satu sebab utamanya keributan Krapyak. Penduduk merasa dirugikan oleh peraturan baru di bidang agraria 70 orang anggota SI marah terhadap asisten residen Belanda dan pejabat kepatihan R.T. Joyonagoro, putra patih, yang ketika itu menjabat sebagai bupati nayoko dan bendaharawan keraton. Koran Bintang Surabaya mewartakan, penduduk Krapyak–anggota-anggota SI – menolak peraturan gubernemen. Karena sikap dan tindakan anti Cina dipandang dapat mengganggu keamanan, pada tanggal 10 Agustus 1912 Residen Van Wijk melarang SI mengadakan rapat dan menerima anggota baru. Rumah-rumah pimpinan SI digeledah. Tapi Van Wijk mencabut larangan itu di bulan September, dengan syarat tidak boleh menerima anggota baru dari luar Surakarta.

Sejarah kemudian mencatat peristiwa lain. Beberapa hari sebelum larangan itu dicabut, gerakan para saudagar Islam memperoleh dorongan baru dari Umar Said Cokroaminoto, pedagang dari Surabaya yang membentuk Sarekat Islam di Surabaya dengan memakai model SI Solo. Jelas, SI telah menusuk rusuk Jawa. Dalam kongres pertamanya di Surabaya tanggal 26 Januari 1913, hadir wakil-wakil dari sepuluh cabang, didukung oleh 8.000–10.000 pengunjung. Jumlah anggota SI waktu itu kira-kira 80.000 orang, 64.000 orang di antaranya di Surakarta. Dalam kongres itu ditetapkan kedudukan komite sentral tetap di Solo, dengan tiga departemen yang bertugas melebarkan sayap organisasi ke pelosok-pelosok Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Pada 23 Maret 1913 berlangsung kongres kedua di Surakarta. Setelah kongres itu, SI benarbenar mencuat. Tahun 1916 jumlah cabangnya di dan luar Jawa mencapai 180 buah, yang mengayomi 700.000 anggota.

“Main mata” SI dengan keraton Pakubuwono X boleh dikata berawal di bulan September 1912. Dari sebelas orang pimpinan SI Solo, empat orang di antaranya pejabat tinggi keraton. Kongresnya yang kedua diselenggarakan di Sriwedari, sebuah taman dan tempat pertemuan milik Pakubuwono X. Beberapa hari sebelum kongres dibuka, patih Sosrodiningrat memberi tahu Van Wijk bahwa SI setempat meminta kepada putranya, R.M. Wuryaningrat, agar menjadi anggota kehormatan. Selanjutnya, atas perintah ayahnya, Wuryaningrat menolak permintaan itu dengan pura-pura membuat alasan karena anggaran dasar SI belum mendapat persetujuan dari pemerintah Hindia Belanda. Van Wijk lagi-lagi terkejut ketika pada malam menjelang pembukaan kongres mendengar Pangeran Hangabehi terpilih sebagai pelindung SI. Ketika ditanya oleh residen Belanda, Hangabehi mengatakan bahwa keanggotaannya di SI baru dua hari, ia juga telah diundang hadir pada rapat pendahuluan kongres. Ketika tiba-tiba diminta jadi pelindung, permintaan itu langsung diterimanya, tanpa meminta nasihat dulu dari Susuhunan atau patih. Kehadiran Pangeran Hangabehi memang mendapat sambutan hangat dari kongres. Secara resmi pangeran itu terpilih sebagai pelindung. H. Samanhudi terpilih sebagai ketua, dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. R.M.A. Puspodiningrat – putra R.T. Wiryodiningrat, penasihat Susuhunan yang paling terpercaya jadi ketua cabang Jawa Tengah. Puspodiningrat waktu itu berpangkat bupati nayoko di keraton, ia dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, yang antipati pada orang Eropa. Ia pun jengkel pada Van Wijk, yang selalu mencampuri urusan keraton. Apalagi residen Belanda itu sudah melaporkan kepada atasannya, betapa banyak orang keraton yang menjadi anggota SI.

Ada juga yang menganggap kedudukan P. Hangabehi sebagai pelindung SI itu hanya tituler–bupati Madiun, misalnya. Karena itu, dalam kongres ST tanggal 23 Maret 1913, dua orang utusan SI Madiun ditanya sendiri oleh P. Hangabehi dengan tiga pertanyaan tajam. Mengapa ketua SI Madiun tidak hadir? Mengapa SI Madiun berani mengangkat bupati Madiun sebagai ketua kehormatan tanpa meminta pertimbangan lebih dahulu dari pimpinan pusat SI di Solo? Apakah bupati itu dapat dipercaya dan dapat memberikan bantuan kepada SI? Konon, bupati Madiun – serta kebanyakan bupati lain – sangat hati-hati dan waspada terhadap pengaruh Solo dan keratonnya. Mereka merasa, bila pengaruh Surakarta meningkat terus di mata rakyat Jawa, kedudukan para bupati pemerintah Hindia Belanda akan melemah. Kenyataannya, P. Hangabehi memang tidak boleh lama-lama duduk sebagai pelindung SI. Dalam surat tanggal 24 Mei 1913 Van Wijk melaporkan ke Batavia bahwa pangeran itu telah melepaskan kedudukannya atas perintah ayahandanya, Pakubuwono X. Dan atas anjuran Van Wijk pula, tak lama kemudian pangeran itu dikirimkan ke Eropa, untuk meredam pengaruhnya di kalangan tinggi keraton. Tapi di Negeri Belanda ada yang memperkenalkannya sebagai pelindung SI. Belanda pusing lagi, karena pangeran itu merupakan salah satu calon terkuat untuk menggantikan ayahnya.

Pengundurannya dari SI ternyata tidak mengurangi pamor Hangabehi di SI Solo. Reserse yang memata-matai kegiatan SI melaporkan pada tanggal 18 Agustus 1913, P. langebehi dianggap oleh orang-orang SI sebagai calon ratu adil, juru penyelamat tanah Jawa. Anggota-anggota SI setempat mengatakan kepada temantemannya bahwa pada saatnya nanti akan ada raja adil yang memerintah tanah Jawa. P. Hangabehi-lah orangnya. Ternyata, hanyak anggota SI yang ingin menjadi anggota pasukan Pangeran Hangabehi, sehingga ketua SI Solo menulis surat kepada pangeran itu supaya pulang ke Solo, karena kelak akan menjadi raja tanah. Pengaruh P. Hangabehi juga amat besar di Yogyakarta. Dalam laporan rahasia reserse pada bulan Februari 1914, anggota SI Yogya masih tetap menganggapnya sebagai ketua SI. Mereka mendukung pencalonannya sebagai pewaris takhta Surakarta. Mereka siap membantunya jika sampai terjadi perkara yang serius. Konon, SI Yogya sudah terbentuk dalam bulan Maret 1913 atas prakarsa Pangeran Notodirjo, putra Pakualam V. Sebulan setelah pembentukannya, SI Yogya mempunyai 657 anggota, termasuk kira-kira 100 orang pejabat keraton Sultan dan 50 pejabat Pakualaman.

SI cepat berkembang ke seluruh pelosok Jawa, bahkan sampai Madura sisten residen Belanda di Banyuwangi melaporkan ke Batavia bahwa penduduk setempat merasa resah di bawah pemerintahan Hindia Belanda, dan mengalihkan pandangan ke SI Solo. Saya kira, bukannya tidak mungkin bahwa gerakan itu berasal dari kelompok atau orang-orang dari kalangan istana Solo, tulisnya. Residen Madura meminta perhatian yang serius terhadap desas-desus yang tersebar di karesidenannya, bahwa Susuhunan pun adalah anggota SI. Dan residen Surabaya melaporkan hanyak orang di Surabaya menyatakan SI dibentuk atas pemltah Susuhunan dan Mangkunegoro. Seorang anggota SI yang diinterogasi mengatakan, tujuan SI ialah membentuk pemerintahan baru yang akan melancarkan peperangan guna mengusir orang-orang Belanda dan Cina dari Jawa. Sedang seorang bekas anggota SI di Surabaya mengaku, SI bertujuan mengambil alih tanah Jawa dari Belanda melalui revolusi, dan menyerahkan kembali Jawa kerja dan Susuhunan. Asisten residen Nganjuk memperkuat bahwa anggota-anggota baru SI, setelah mengucapkan sumpah, lantas diingatkan, “Jangan lupa, di tanah Jawa hanya ada seorang raja yang sah.”

Desas-desus yang beredar selagi kongres SI berlangsung di Solo tanggal 23 Maret 1913 dilaporkan oleh bupati Bojonegoro sebagai berikut: “Di Solo SI pertama-tama didirikan sehubungan dengan kenyataan bahwa Suuhunan X tidak mempunyai putra lelaki dari permaisuri, pun belum punya putra yang diberinya gelar Pangeran Adipati sebagai pewaris takhta, padahal Baginda semakin berusia juga. Orang-orang mengatakan, Baginda berniat mengawini seorang putri Sulfan Yogya. Tapi, jika ini terlaksana dan permaisuri baru itu melahirkan putra mahkota, tentunya sang putra itu masih terlalu muda untuk menggantikan ayahandanya. Orang-orang mengutip kata Joyoboyo, bahwa sepeninggal Susuhunan X, takhta kerajaan akan diduduki oleh raja yang dipilih oleh rakyat, yaitu Susuhunan XI.” Lebih lanjut dikatakan bahwa pendiri SI yang sebenarnya ialah Pangeran Hangabehi, putra Susuhunan sekarang. Ia sengaja mendirikannya dengan harapan, kelak, melalui kerja sama dengan perkumpulan itu, ia terpilih menjadi Susuhunan. Salah seorang asisten residen di Batavia melaporkan bahwa anggota-anggota SI di Bekasi dianjurkan agar tidak menghormati pemerintah Hindia Belanda lagi, dan, jika sampai terjadi sesuatu, akan ada seseorang yapg menolong. Siapa orangnya tidak disebutkan. Tapi, setelah diketahui bahwa orang-orang Bekasi yakin iuran masing-masing sebesar 50 sen akan dikirimkan kepada Susuhunan di Solo, dapat ditebak siapa yang dimaksudkan. Memasuki tahun 1915 SI mengalami kemunduran. Terjadi pergantian pimpinan, dan pusatnya pun pindah dari Solo. Hubungan antara keraton dan SI menipis.

Budi Utomo

Lalu di Surakarta bertiup angin politik yang penting. Pada tahun 1914 terjadi perpindahan pimpinan Budi Utomo dari Yogya ke Solo. Mula-mula ketertiban Keraton Surakarta dalam kegiatan Budi Utomo masih samar-samar dan dlakukan dengan hati-hati sekali. Pada akhir tahun 1921, setelah Pakubuwono X melakukan kunjungan lagi ke daerah-daerah lain, dua orang putra raja itu masuk dalam pimpinan Budi Utomo. Belanda pun resah, lalu berusaha membatasi kegiatan politik keraton. Dalam catatan sejarah, Budi Utomo didirikan oleh sekelompok mahasiswa kedokteran di Batavia Dada Mei 1908. dan merupakan organisasi nasionalis yang pertama kali dibentuk di Hindia Belanda. Dalam sejarah Indonesia, lahirnya Budi Utomo merupakan awal kebangkitan nasional. Kongres pertamanya, yang dipimpin oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo, berlangsung pada bulan Oktober 1908. Kongres itu dilangsungkan di Yogyakarta, antara lain karena simpati Pangeran Notodirjo dan keraton Pakualaman. Kira-kira 300 orang hadir baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat. Karena Dr. Wahidin sakit, pada hari kedua Panji Brotoatmodjo – pegawai tingkat menengah (kliwon) dari keraton Pakualaman – memimpin kongres.

Pembentukan Budi Utomo cabang Solo mungkin terjadi pada akhir tahun 1908, dan selanjutnya cabang ini berkembang pesat. Pada tahun 1912 ia mampu mengambil alih koran Darmo Kondo. Koran itu terbit sejak tahun 1904 di bawah manajemen orang-orang Cina. Seorang bangsawan, R.M.A. Suryosuparto, yang kemudian menjadi Mangkunegoro VII, memainkan peranan penting pada tahun-tahun awal Budi Utomo Solo. Tahun 1916, Pangeran Hadiwijoyo, salah seorang putra terkemuka Pakubuwono X, menjadi ketua cabang. Dan bulan Juni 1919, dua orang pangeran yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Susuhunan Pangeran Hangabehi dan Pangeran Kusumoyudo – ikut ambil bagian dalam armada itu. P. Hangabehi putra tertua Pakubuwono X, sedangkan P. Kusumoyudo putra tertua kedua, yang konon merupakan putra kesayangan ayahanda.

Mula-mula Budi Utomo hanya bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan. Tapi sejak September 1914, setelah organisasi ini dipimpin oleh dr. Radjiman Wedjodiningrat, seorang dokter keraton Susuhunan, bidang politik dikebut. Dalam rapat pimpinan di Bandung tanggal 5 dan 6 Agustus 1915, tampillah mosi M. Sutedjo, utusan dari Surakarta, yang menyerukan dibentuknya parlemen sebagai pengganti milisi.

Dalam kongres Budi Utomo di Surabaya, 8 dan 9 Juli 1919, R.M.A. Wuryaningrat terpilih sebagai ketua. Pejabat tinggi dan bangsawan Keraton Surakarta yang sangat anti Belanda ini kelak menjadi seorang pemimpin gerakan nasional yang terkemuka. Wuryaningrat adalah putra patih Surakarta R.A.A. Sosrodiningrat, yang menjabat patih sejak tahun 1889, semasa Pakubuwono IX bertakhta. Pakubuwono IX memberi Sosrodiningrat cukup batasan kekuasaan, sedangkan Pakubuwono X beberapa tahun bersikap longgar. Tapi karena cukup tua, dan menurut pandangan Belanda amat konservatif, Gubernur Jenderal Idenburg dalam tahun 1915 memensiunkannya. Sekaligus menggantinya dengan putra sulung patih dari selir R.A. Joyonagoro. Sosrodiningrat menyangka rajalah yang mencopotnya.

Joyonagoro cakap sebagai administrator. Ia kawin dengan putri raja, kakak Kusumoyudo. Tapi pengangkatan Joyonagoro kurang menyenangkan sementara kalangan keraton, yang menginginkan Wuryaningrat. Alasannya, Wuryaningrat adalah putra tertua dari istri pertama, bukan anak selir. Dan istri pertama itu adalah kakak Susuhunan. Pakubuwono X sudah mengajukan permintaan resmi kepada pemerintah – Hindia Belanda agar Wuryaningrat yang diangkat. Pangkatnya pun waktu itu sudah bupati nayoko. Apalagi patih lama sudah memberinya kedudukan sebagai “sekjen” di kepatihan. Sebenarnya, ia tokoh pejabat tinggi yang penting. Tapi Belanda memang mencari calon yang lebih pasif dan tenang sikapnya. Wuryaningrat dengan kekuasaan yang besar, bersama-sama dengan tokoh-tokoh keraton yang anti Belanda dapat menggelisahkan Batavia. Ia pun dipindahkan dari kepatihan, sehingga kedudukannya hanya di keraton. Akibatnya, Wuryaningrat semakin benci kepada Belanda, sehingga gubernur Belanda menyebutnya “setan jahat” keraton.

Setelah kedudukan pimpinan pusat pindah dari Yogya ke Solo di tahun 1914, Budi Utomo lebih mantap geraknya. Cabang Surakarta maju, didukung 315 anggota. Cabang Weltevreden 601 orang. Gltatan anggota tahun 1918 sebagai berikut: Surabaya 139, Batavia 94, Yogya 70. Klaten, Boyolali, Sragen, dan Wonogiri juga mencatat jumlah cukup. Pada tahun 1909 ada 40 buah cabang, pada tahun 1918 menjadi 51. Kenyataan ini mengesankan bahwa meskipun sebagai organisasi tidak besar, ia berpengaruh. Wuryaningrat berusaha memperluas cabang. Hasilnya, pada tahun 1920 naik jadi 63 cabang, setahun kemudian meningkat jadi 90. Motif utama keraton melibatkan diri dalam gerakan politik tentu saja karena makin tajamnya cakar Belanda mengganggu urusan dalam kerajaan. Tujuan utamanya otonomi politik. Itu juga dilakukannya pada berbagai kerajaan di daerah lain. Dalam pemilihan anggota Volksraad, Januari 1918, empat di antara 10 orang pribumi yang terpilih adalah anggota Budi Utomo. Termasuk Dr. Radjiman dan R. Sastrowidjono. Untuk mengimbangi anggota yang konservatif, pada bulan Maret 1918 diangkat lagi lima orang pribumi yang progresif: Cipto Mangunkusumo dari Insulinde, Cokroaminoto dari SI, Dwidjosewojo dari Budi Utomo, Prangwedono (Mangkunegoro VII), dan T.T. Mohamad Thayeb dari Aceh. Budi Utomo merupakan partai terbesar kedua dalam Volksraad, setelah NIVB (Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond).

Batavia terus mengendalikan keraton-keraton di Jawa Tengah. Pada pertengahan tahun 1920 Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921) menyatakan ingin turun dari takhta – terlaksana pada tahun berikutnya. Alasan resminya: sudah uzur (lahir tahun 1839). Tapi sebuah artikel dalam koran Sumatra Post yang ditulis oleh salah seorang yang sangat paham persoalan keraton membeberkan, Sultan mundur karena tidak dapat mengikuti reformasi sosial nihak Yubernemen. Di Surakarta, seorang bangsawan yang anti Belanda, P. Hadiwijoyo, terpilih menjadi ketua cabang Budi Utomo. Di bawah kepemimpinannya muncullah mosi dalam tahun 1920 yang menuntut otonomi bagi kerajaan Surakarta.

Pada bulan Desember 1921 Susuhunan melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, ia tinggal agak lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut ratusan orang berkumpul, sehingga polisi repot. Orang-orang itu ingin membeli air bekas mandi Pangkubuwono X termasuk sisa makanannya, karena dianggap mendatangkan berkah. Pada bulan Februari 1922 Pakubuwono X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi. Perjalanan itu resminya disebut incognito, tapi benar-benar membuatnya populer. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, wedana dan asisten wedana memperoleh arloji anan itu “memberikan kesan mendalam pada rakya akan prestise, kekayaan, dan kesaktian raja Jawa, sebuah aspiras dengan tendensi nasionalistis yang kuat,” tulis Residen Harloff.

Dalam musyawarah nasional Budi Utomo di Surakarta tangga 24-26 Desember 1921, sasarannya politik. Wuryaningrat berpida to mengulas berbagai kejadian setelah Perang Dunia I. Pergola kan yang terjadi di berbagai bagian dunia serta gerakan-gerakan kemerdekaan di Arab, Irlandia, dan India. Budi Utomo, katanya sekarang mengemban tiga program: meningkatkan pendidikan membangkitkan rasa cinta tanah air, dan memajukan perekonomian rakyat. Dalam mosi yang diumumkan, diserukan aga dalam badan-badan perwakilan kaum pribumi memperoleh keanggotaan paling sedikit lima puluh persen. Keterlibatan keraton dalam Budi Utomo berlangsung terus Wuryaningrat, yang mundur dari jabatan ketua, digantikan olel P. Hadiwijoyo, juga putra Pakubuwono X. Dalam babak kepeng urusan selanjutnya Dr. Radjiman Wedjodiningrat, dokter Keraton Surakarta, tampil lagi sebagai ketua.

***

Antara pertengahan 1918 dan pertengahan tahu ada topan inflasi, sementa tidak berubah. Pada bulan Agustus 1919 harga makanan dan pakaian naik 50 persen. Harga gula di pasar dunia merosot, sehingga petani tebu keok. Ketidakpuasan muncul di daerah. Kebun tebu dibakar tentara dikerahkan untuk mengatasi kekacauan Kediri dan di Jawa Barat, serangkaian insiden akibat pengumpulan beras secara paksa. Pada bulan Juli 1919, dalam insiden yang paling parah – Peristiwa Garut – seorang anggota SI, Hasan, dan beberapa orang anggota keluarganya tewas ditembak. Cipto Mangunkusumo berpidato di depan sidang Volksrat tanggal 20 Februari 1919: menyalahkan gubernemen dan industri gula. Kata dia, menjelang tahun 1915 sebenarnya dapat dibayangkan akan terjadi kekurangan pangan, dan gambaran buruk itu makin parah di tahun 1917.

Pada bulan Agustus dalam masa perang di Eropa, Inggris memerlukan bantuan banyak kapal Belanda. Selanjutnya Inggris melarang ekspor ke India ke Hindia Belanda, bahkan ekspor beras ke Singapura pun dicegah. Akibatnya, harga beras naik lima kali lipat. Namun gubernemen tetap tidak mau mendesak pemilik-pemilik gula mengurangi luas kebun-kebun tebu agar dapat ditanam dengan padi. Kata Cipto, gubernemen tidak berbicara demi rakyatnya, tapi demi kapitalis-kapitalis pabrik gula. Penderitaan rakyat Surakarta semakin menggalakkan pemuka-pemuka. Dalam rapat istimewa Budi Utomo di Yogya ta dan 5 November 1922, dr. Radjiman memperingatkan gubermen dengan berkobar-kobar, “Ingat, sekaranglah saatnya meluluskan tuntutan kami. Sekarang memang kamu memimpin kami, tapi tunggu, tidak lama lagi saatnya akan bila kesabaran rakyat sudah habis!” Selanjutnya Budi Utomo juga mengadakan pertemuan-pertemuan. Dalam manifesto, yang diumumkan pada pertemuan November 1922, diajukan protes atas larangan yang dikenakan gubernemen terhadap pemimpin-pemimpin politik, peng polisi, dan “penyedotan” oleh kaum kapitalis dari bumi Hindia. Pada tahun 1923 dr. Radjiman digantikan oleh Wuryaningrat sebagai ketua pimpinan pusat Budi Utomo. Ia meneruskan moderat, tapi tetap mengecam gubernemen. Pernah Budi tertarik oleh politik non-kooperasi-nya Gandhi. R. Wonoboyo, seorang anggota pimpinan pusat, mengusulkan mengirimkan utusan ke India untuk memperoleh keterangan tangan pertama tentang gerakan itu.

Menuju Nasionalisme Indonesia Pakubuwono X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah di luar Surakarta. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, benarnya hendak membatasi popularitas Susuhunan. Sekalipun perjalanan itu bersifat incognito, tapi Susuhunan selalu mengesankan sebagai Kaisar Tanah Jawa”. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwono X tidak mengadakan perjalanan lagi di tahun 1923. Tapi tahun berikutnya, ia berangkat ke Malang. Penampilannya di sana menyebabkan Gubernur Jenderal Fock menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan suhunan pulang. Alasannya, persyaratan “incognito” dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwono mengadakan perjalanan lagi di tahun 1927. Diiring 44 orang bangsawan dan abdi, ia memasuki Gresik, Surabaya, dan Bangkalan lama seminggu. Jumlah pengiringnya tiga kali lipat persyaratan yang dibuat oleh Belanda. Pada tahun 1929, selama dua minggu, ia ke Bali dan Lombok. Juga dengan 44 orang pengiring. Tahun berikutnya ke Bandung. Tahun 1933 ke Cepu dan tahun 1935 ke Bogor, Batavia, dan Lampung, dengan 51 orang. Susuhunan terus lakukan kunjungan di Jawa sampai wafatnya tahun 1939.

Pada tahun-tahun itulah, di Surakarta muncul R.T. Djaksodipujo, tokoh baru dari kalangan keraton. Tamatan sekolah hukum tinggi di Batavia. Bergelar R.T. Mr. Wongsonegoro, yang di kemudian hari menjadi Menteri Dalam Negeri RI. Ia salah satu tangan kanan Wuryaningrat. Pada tahun 1920-an, ia memegang berapa jabatan dalam keraton dan kepatihan. Ia menjadi ketua di Utomo cabang Solo, dan juga ketua pimpinan pusat Jong Java. Selama belajar di Rechls Hoge School di Batavia, ia dikenal sebagai mahasiswa yang pandai. Pada tahun 1924, dr. Sutomo membentuk Indonesische Studie Club di Surabaya. Dua tahun kemudian, di Solo terbentuk kumpulan serupa. Keanggotaannya tidak besar, tapi Wuryaningrat, dr. Radjiman, dan beberapa politisi yang berpengaruh ikut kudeta. Salah satu kegiatannya yang terpenting ialah menerbitkan Majalah Timbul, yang pro keraton dan nasionalis. Terbit dua bulan sekali sejak Januari 1927. Redaksinya dr. Radjiman dan R.P. Mr. Singgih. Majalah ini menerima subsidi 200 gulden setiap bulan dari , keraton dan dompet pribadi Pangeran Kusumoyudo. Enam tahun lamanya Timbul berkampanye menyerang politik yang dijalankan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan Jawa, dan terus-menerus menuntut otonomi yang lebih longgar. Mr. Singgih merupakan tokoh baru yang memperkuat suara Keraton. Sebenarnya, ia berasal dari Pasuruan. Ketika belajar ilmu Hukum di Negeri Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, perkumpulan mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Sekembalinya di Indonesia, banyak di antara anggota perhimpunan ini menjadi pemuka gerakan nasionalis. Setelah mengantungi ijazah sebagai ahli hukum dengan gelar Meester in de Rechten Mr. Singgih kembali ke Jawa. Selama setahun ia bekerja di kantor pengadilan Hindia Belanda di Ambon. Tahun 1924 ia mengundurkan diri, lalu pindah ke Surabaya, menjadi pengacara dan propagandis bagi Indonesische Studie Club-nya dr. Sutomo. Namanya berkibar sebagai pemuka nasionalis dan gerakan non-kooperasi. Ia pun aktif sekali di dalam Budi Utomo, dan terpilih sebagai sekretaris pertama pimpinan pusat dalam kongres bulan April 1928. Sebelum pindah ke Solo pada akhir 1926, ia berkeliling ke pelosok-pelosok Jawa, menyerukan pembentukan front persatuan semua golongan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga menjadi anggota PNI-nya Sukarno, yang dibentuk di Bandung bulan Juli 1927.

Keraton akrab kembali dengan Budi Utomo setelah kongres bulan April 1928 di Solo. Pimpinan pusat organisasi nasional yang tertua itu kembali menetap di Solo. Dari susunan pimpinan pusat tampak menonjolnya tokoh-tokoh dari pihak keraton: R.M.A.A. Kusumo Utoyo (ketua), R. M.H. Wuryaningrat (wakil ketua), R.P. Mr Singgih (sekretaris pertama), R.M . Sudaryo (sekretaris kedua) S. Martodihardjo (sekretaris kedua), dr. Radjiman Wedjodiningrat (komisaris), R.Mr.dr. Supomo (komisaris), dan R. Slamet (komisaris). Tak lama kemudian, setelah kongres itu, Kusumo Utoyo pindah ke Batavia karena terpilih sebagai anggota Volksraad. Wuryaningrat, yang bertugas memimpin sehari-hari, secara defacto menjadi pemimpin utama. Akhirnya, kepemimpinannya mendapatkan pengakuan, seperti yang terjadi pada bulan Desember 1934 ketika ia dan Kusumo Utoyo bertukar kedudukan dalam pimpinan pusat.

Dalam memimpin Budi Utomo, Wuryaningrat menyalurkan kehendak Pakubuwono X yang memang menaruh perhatian besar dalam politik. Pada bulan Mei 1928, pimpinan pusat Budi Utomo mengeluarkan manifesto yang mengecam perbedaan perlakuan yang diumumkan oleh Gubernur Jenderal De Graef. Perbedaan perlakuan terhadap kaum nasionalis yang evolusioner dan revolusioner. Manifesto itu diakhiri dengan semboyan: “Dengan persatuan yang tak terpecahkan menuju kemerdekaan Indonesia.” Banyak yang mengatakan bahwa perencana manifesto itu adalah Mr. Singgih.

Dalam kongresnya di Yogya, 31 Desember 1927 hingga 1 Januari 1928, Budi Utomo memutuskan ikut serta dalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) – federasi partai-partai politik Indonesia. Federasi itu baru terbentuk dua minggu sebelumnya, terutama atas prakarsa PNI Sukarno. Menginjak awal tahun 1930, langkah Budi Utomo makin jelas menuju nasionalisme Indonesia. Dalam kongres awal April 1931 di Batavia, secara tegas dibuka keanggotaan untuk “semua orang Indonesia.” Ejaannya pun diganti dari Budi Utomo menjadi Budi Utama. Dan dalam konperensi pimpinan pusat di Solo bulan Desember 1932, perubahan radikal terjadi dalam anggaran dasarnya. Tujuannya demi “perkembangan harmonis negeri dan rakyat Jawa dan Madura”, berubah jadi demi “Indonesia Merdeka.” Budi Utomo juga ikut serta melakukan protes terhadap rencana gubernemen untuk mengekang pendidikan pada sekolah-sekolah swasta – Wilde Scholen Ordonnantie – terutama pengekangan terhadap Taman Siswa. Sejak pendirian Taman Siswa di tahun 1922 oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), gubernemen telah melakukan berbagai pengawasan. Padahal, sekolah swasta tidak menerima subsidi dari Belanda. Tapi, peraturan baru yang hendak dikenakan pada sekolah swasta yang disebutnya “sekolah liar” itu lebih menjerat lagi, yaitu bahwa gubernemen dapat melarang dan mencabut izin sekolah itu jika dicurigai telh mengajarkan hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya bagi tata tertib masyarakat. Suwardi Suryaningrat segera mengirimkan kawat protes kepada Gubernur Jenderal B.C. de Jonge yang terkenal kolot. Pers nasional dan hampir semua organisasi nasional ikut berkoar. Budi Utomo pun mengadakan rapat, lalu menyampaikan ultimatum kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika ordonansi itu tidak ditarik kembali, Budi Utomo akan menarik pula semua anggotanya dari badan-badan perwakilan di seluruh Hindia Belanda, menutup sekolah-sekolahnya, dan memberikan bantuan keuangan kepada “korban” peraturan itu. Setelah diserbu protes, baru Belanda menarik ordonansi tersebut. Pada tahun 1933 Budi Utomo berkonfrontasi lagi dengan gubernemen, yang berlangsung dua tahun lamanya.

Konon, pada akhir bulan April 1933, PPPKI yang mengadakan rapat di Solo bersepakat hendak mendirikan tugu di Solo, guna memperingati 25 tahun kebangkitan nasional. Organisasi-organisasi yang tergabung dalam PPPKI mengumpulkan iuran, lalu membentuk panitia yang terdiri atas tujuh orang. Panitia itu diberi nama Comite Tugu Kebangsaan, diketuai oleh Mr. Singgih. Tempat untuk mendirikan tugu disediakan oleh sebuah sekolah dasar swasta di Kampung Penumping, Laweyan, sedangkan pemilik tanah adalah Susuhunan. Izin pendirian diberikan oleh bupati kota pada akhir bulan November tahuh itu, tapi tidak diberitakan kepada residen Belanda M.J.J. Treur. Menurut rencana, peletakan batu pertama tugu itu akan dilakukan bersamaan dengan kongres PPPKI bulan Desember 1933 di Solo. Ternyata, pada saat-saat terakhir, penyelenggaraan kongres tidak diizinkan oleh Treur. Akibatnya, beberapa bulan lamanya rencana pendirian tugu itu terbengkalai. Tapi akhirnya rencana itu secara diam-diam dilanjutkan, diharapkan tugu itu sudah selesai sebelum gubernemen tahu. Tapi pada pertengahan bulan Oktober ketika pembuatan tugu itu hampir selesai hidung Treur menciumnya. Bulan berikutnya Budi Utomo menyampaikan permintaan izin resmi kepada residen, bahwa tugu itu akan diresmikan dalam kongres yang akan diadakan tanggal 24-26 Desember 1934 di Solo, dengan prasasti: “Toegoe peringatan pergerakan Kebangsaan 1908- 1933″. Permintaan izin ditolak, Batavia menyuruh Treur melakukan penyelidiki Setelah Treur menyampaikan laporan ke Batavia pertengahan Januari 19 keputusan baru menyebutkan tugu boleh tetap berdiri, asal dalam rangka peringatan berdirinya Budi Utomo, bukan sebagai peringatan kebangkitan nasional. Akhirnya Januari 1935 kebetulan Pakubuwono X ada di Batavia dalam rangka perjalanannya ke Lampung. Gubernur Jenderal menggunakan kesempatan untuk memberitahukan hal itu, dan Pakubuwono X pun berjanji akan membicarakan hal itu dengan Budi Utomo sekem- balinya di Solo nanti. Tapi usahanya tidak berhasil, sebab dalam pertengahan Maret 1935 Budi Utomo menyampaikan usul balasan kepada Belanda, yang menyatakan tetap menggunakan tahun “1908-1933″ atau tanpa prasasti sama sekali. Belanda makin jengkel, apalagi Budi Utomo tanpa izin telah mengubah bunyi tujuan dan anggaran dasarnya yang tera terangan demi Indonesia Merdeka. Pada awal April 1935 Bata memberi instruksi pada Treur agar mengultimatum Budi Utor tugu itu akan dibongkar dalam waktu sebulan jika menolak bu prasasti “Toegoe peringatan kemajoean ra’yat 1908-1933″. Pe tujuan akhirnya tercapai seperti tersebut di atas. Tugu den bentuk lilin menyala itu sampai sekarang masih berdiri, dan dike dengan nama Tugu Lilin.

Pada bulan Oktober 1930 di Surabaya terbentuk organisasi baru yang didirikan oleh Dr. Sutomo: Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Dan perjalanan sejarah menunjukkan bahwa dalam tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda di Indonesia, Keraton Surakarta mulai melibatkan diri lebih jelas dalam gerakan nasional, yaitu setelah bergabungnya Budi Utomo dan PBI dalam bulan Desember 1935. Gabungan kedua organisasi ini ditambah dengan beberapa organisasi kebangsaan lain yang lebih ke akhirnya melahirkan partai yang paling besar dan paling penting dalam dekade itu, yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra). Dr. Sutomo menjadi ketuanya, dan Wuryaningrat wakilnya Tujuan partai itu “Indonesia Mulia” tapi Belanda tahu benar bahwa maksudnya adalah kemerdekaan. Semua organisasi yang masih bergabung dalam PPPKI, kecuali Pasundan, masuk dalam Parindra. Pada bulan Februari 1936, Parindra telah mempunyai 54 cabang, dengan jumlah anggota 3.445. Pendukungnya yang terbesar dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi selanjutnya pulau-pulau lain pun segera berdiri cabang-cabangnya, sehin pada akhir masa penjajahan Belanda cabang Parindra tercatat sebanyak 121 buah, dan anggotanya kira-kira 20.000 orang. Inti Parindra, paling tidak pada permulaannya, adalah gabungan para pengikut Dr. Sutomo di Surabaya dan kaum politisi Keraton Surakarta. Pucuk pimpinan Parindra resminya di Surabaya. Tapi Solo, yang pada umumnya oleh orang-orang Jawa masih dipandang sebagai pusat politik yang terutama di Jawa, berfungsi sebagai pembantu pusat yang berada di Surabaya.

Persekutuan antara Surakarta dan Surabaya dapat mengingatkan pada tahun-tahun pertama Sarekat Islam, sekalipun persekutuan semacam itu dalam perjalanan waktu juga dapat menimbulkan ketegangan. Dalam kongres fusinya tujuh dari tiga puluh orang yang terpilih menjadi pengurus pimpinan pusat berasal dari Solo. Tapi dalam kongresnya yang diadakan tahun 1937, di antara sebelas anggota pengurus pusat yang terpilih hanya Wuryaningrat yang masih tinggal. Setelah Dr. Sutomo meninggal tahun 1938, Wuryaningrat yang mengganti jadi ketua, tapi badan pekerja harian tetap berada di’ Surabaya di bawah pimpinan R. Sudirman. Dalam kongres berikutnya pada bulan Desember 1938, Wuryaningrat kembali terpilih sebagai Ketua Parindra, dan M. Sutedjo dari Solo terpilih pula sebagai salah seorang anggota pengurus pusat. Kedudukan pengurus pusat pindah ke Solo, tapi lima dari tujuh di antaranya berasal dari Surabaya, dan pimpinan harian tetap di Surabaya di bawah R. Sudirman yang terpilih sebagai wakil ketua baru.

Dalam pada itu, nama dan peranan Jepang mulai muncul. Akibat devaluasi yen di Jepang pada tahun 1931, Hindia Belanda dibanjiri barang-barang Jepang, yang mendapat sambutan baik sekali karena harganya yang murah dan lebih baik dari saingannya. Selanjutnya orang-orang Jepang pun membuka toko di kota-kota Hindia serta mempekerjakan tenaga-tenaga pribumi. Furnivall, seorang pengamat sejarah Indonesia, mengatakan, jika kaum pribumi “tidak memperoleh ruang gerak dalam perdagangan modern, orang-orang Jepang memberinya kesempatan awal.” Sejak akhir tahun 1932 Belanda mulai benar-benar memperhitungkan ekspansi Jepang dalam segala bidang. Dalam bulan Juni 1933 Dr. H. Colijn, menteri urusan jajahan Belanda, memberi nstruksi kepada gubernur jenderal Hindia De Jonge agar nelakukan “cara yang lengkap, sistematis, dan sangat rahasia” dalam laporan intelijennya mengenai kehadiran orang-orang Jepang di Hindia. Belanda mengkhawatirkan bukan saja penetrasi ekonomi, tapi juga spionase dan pengaruh dan pers pribumi, gerakan nasional, dan raja-raja pribumi. Kekhawatiran Belanda itu memang beralasan setelah melihat keadaan di Surakarta. Tampaknya, Jepang menaruh perhatian kepada dua kerajaan di sana. Pada bulan Februari 1936, penasihat dan kepala biro urusan Asia Timur, A.H.J. Lovink, membuat laporan bahwa banyak orang Jepang mengunjungi Surakarta. Di Wonogiri perusahaan Jepang Ishihara Mining Company memperoleh hak eksplorasi tembaga dari Mangkunegoro pada tahun 1932. Di Wonogiri Selatan sebelumnya memang pernah diselidiki kemungkinan adanya kandungan tembaga, tapi tidak dilanjutkan karena diperhitungkan kurang menguntungkan. Tapi kenyataannya orang Jepang berani melakukannya. Dengan demikian, Belanda patut menaruh curiga akan kemungkinan adanya aspek politik. Dan karena perusahaan Jepang itu merencanakan mengapalkan hasil galiannya dari pantai dekat Teluk Pacitan, mungkin sekali juga sekalian mengumpulkan data topografis yang strategis. Sampai bulan September 1936 di Surakarta terdapat 57 orang Jepang, belum termasuk perempuan dan anak-anak Jepang. Kebanyakan tinggal di Solo, lainnya di Klaten, Boyolali, Sragen, Wonogiri, dan Tawangsari. Pada umumnya mereka pemilik dan pegawai toko dan bisnis kecil. Sampai Februari 1940 di Surakarta terdapat 27 toko dan perdagangan kecil Jepang lainnya. Di daerah Wonogiri selain mengusahakan tembaga, Jepang juga menangkarkan ulat sutera, mengusahakan pembuatan katun, pabrik karet, dan pabrik gula. Mereka memiliki perkumpulan bisnis tidak begitu aktif tapi mempunyai hubungan dengan beberapa orang terpelajar dan bangsawan setempat. Mereka sering ikut bermain tenis di lapangan tenis milik Pangeran Suryohamijoyo, seorang putra Pakubuwono X yang juga menjadi anggota Parindra.

Pada bulan Juli 1939 Gubernur Orie melaporkan ke Batavia bahwa di antara kunjungan yang paling sering dilakukan oleh orang-orang Jepang pada para bangsawan ialah kunjungan pada Pangeran Hadiwijoyo, salah seorang politisi keraton yang terkemuka. Dan di antara orang Jepang penduduk Solo yang paling rajin membina hubungan dengan pihak keraton ialah Sawabe, pemilik toko Fujiyoko, yang sering menyampaikan hadiah kepada Pakubuwono maupun Mangkunegoro. Laporan ke Batavia menyebutkan bahwa Pangeran Purbonagoro, komandan pasukan Keraton Surakarta, sering berkunjung ke toko Fujiyoko, dan diterima di kantor pribadi Sawabe. Pada bulan Februari 1941, dilaporkan Sawabe menerima kunjungan P. Kusumoyudo dan putra tertuanya, keduanya anggota Parindra, dan bulan berikutnya menerima priayi-priayi luhur Keraton Surakarta. Sawabe juga menerima kunjungan Mangkunegoro beserta istri dan anak-anaknya. Semula penyelidikan yang dilakukan oleh Belanda mengenai hubungan itu sebagian besar mengenai soal uang dan utang. Tapi pada bulan Juni 1939 dalam suatu penggeledahan yang dilakukan terhadap seorang wartawan Jepang yang tinggal di Batavia, ditemukan laporan yang dibuat oleh seorang Jepang mengenai gerakan nasional di Indonesia. Ada juga disebut-sebut adanya pertemuan rahasia para pemimpin, yang menghendaki P. Suryohamijoyo menjadi “raja Indonesia” di kemudian hari.

Pada bulan Juli 1939, untuk memenuhi undangan pihak Jepang Narpowandowo (organisasi kerabat dan pejabat Keraton Surakarta) mengirimkan utusan ke kapal penumpang Jepang Nichiran Maru yang lagi berlabuh di Semarang. Utusan yang berkunjung ke kapal selama dua jam itu terdiri dari priayi-priayi kelas menengah diketuai oleh R.M.N. Wiroatmojo, pegawai keraton berpangkat mantri dan juga wartawan. Sejak berdirinya Parindra, Belanda memang memperhatikan partai ini dalam hubungannya dengan gerakan kebangsaan di Surakarta. Tiga orang bangsawan tinggi semua pangeran putra Pakubuwono X, giat dalam partai itu: Hadiwijoyo, Kusumoyudo, dan Suryohamijoyo. Pada hari kedua kongresnya yang berlangsung di Solo, semua peserta diundang ke keraton. Pasukan Susuhunan berbaris di depan keraton memberikan penghormatan.

*********

Masalah suksesi dan pergantian raja di Surakarta hangat. Siapa yang bakal naik takhta bila Pakubuwono X wafat? Pangeran Hangabehi, atau Pangeran Kusumoyudo yang disayangi oleh ayahandanya? Konon, P. Kusumoyudo mempunyai seorang putra (sulung) bernama R.M.H. Mr. Kartodipuro (kemudian bernama B.P.H. Mr. Sumodiningraf), ahli hukum lulusan Universitas Leiden tahun 1935. Sekembalinya di Surakarta ia diangkat menjadi bupati anom di kepatihan, dan tak lama kemudian menceburkan diri dalam kegiatan politik. Ia bergabung dalam Parindra, dan menjadi wakil ketua cabang Solo sejak Agustus 1939. Ia juga menjadi pemimpin redaksi Sara Murti (Panah Wisnu), pengganti Timbul, yang terbit sejak Juli 1936. Setahun kemudian nama majalah itu diganti menjadi Bangun. Kritik-kritik pedas yang dilancarkan oleh Sumodiningrat dalam majalah itu menimbulkan kemarahan Belanda. Gubernur Orie pernah memanggilnya dan menumpahkan kemarahannya selama tiga jam.

Pakubuwono X merupakan raja yang paling lama duduk di singgasana dinasti Mataram (1893-1939). Putranya kira-kira 70 orang, yang masih hidup 44 orang – 20 putra, 24 putri. Masalah yang mengganjal ialah bahwa Pakubuwono tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya. Dua putra yang tertua, Hangabehi dan Kusumoyudo, yang memiliki kemungkinan besar menjadi penggantinya, lahir dari selir. Menurut keinginannya, Kusumoyudo-lah yang hendak dijadikan putra mahkota, meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi. Pada tahun 1898 ia sudah berniat mengangkat Kusumoyudo sebagai putra mahkota, tapi diurungkannya karena sebagian besar kalangan keraton termasuk patih lebih memilih Hangabehi. Belanda pun menilainya cukup dapat dipercaya dan “loyal”. Ia mendapatkan dukungan kuat dari Gubernur Orie.

Pada akhir bulan November 1938 Pakubuwono X sakit keras, dan akhirnya wafat pada tanggal 20 Februari 1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer memilih P. Hangabehi mengganti ayahandanya sebagai Pakubuwono XI. Pengangkatan P. Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan raja. Dalam kontrak politik itu disebutkan bahwa Hangabehi bisa diturunkan dari kedudukan Susuhunan jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan plus motongan anggar belanja keraton secara drastis.

Seperti Benedict Andersa pengamat sejarah modern Indonesia, yang mengutip kata khlayak Jawa. Pakuwono X dianggap sebagai “Susuhunan yang terakhir. ” Sebagaimana juga kata seorang penduduk Surakarta, “Rasa hormat dan patuh rasa kagum dan pengabdian kepada raja yang bertakhta, mulai padam. Orang mulai mengucapkan hal-hal yang sumbang, terutama bila raja baru itu pergi ke gubernuran untuk rapat! Kata orang-orang keraton: Beliau bukan lagi raja yang sesungguhnya Seperti Mangkunegoro saja. Setiap hari beliau pergi mengunjungi gubernur. Pada zaman Pakubuwono X, raja Surakarta hendak pernah pergi ke gubernuran gubernur Belandalah yang menemui beliau dan harus mengajukan permohonan dulu. Orang mulai berbisik-bisik, bahwa keraton koncatan wahyu – keraton telah kehilangan wahyu. Dapat dikatakan, tamatnya keraton Solo bukan dalam zaman revolusi tapi di tahun 1939.

Dalam zaman pendudukan Jepang Keraton Surakarta makin kehilangan cahayanya. Inflasi mengakibatkan keuangan keraton dan bangsawan amat menderita. Pakubuwono XI meninggal tahun 1944, sedangkan putra penggantinya masih amat muda. Pada tahun itu juga Mangkunegoro pun meninggal, dan putra penggantinya pun masih muda.

Sekalipun pamor keraton semakin mundur, politisi keraton tetap memikirkan masa depan. Bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pertemuan-pertemuan diadakan tempat kediaman Suryohamijoyo, Hadiwijoyo, atau Kusumoyu membicarakan bentuk negara Indonesia setelah merdeka nanti. Pada suatu hari di akhir bulan Juli 1945, pertemuan semacam diadakan di rumah Kusumoyudo, yang dihadiri pula oleh pemuka- pemuka berbagai golongan, termasuk kalangan Islam.

Pada awal zaman kemerdekaan para bangsawan yang pada zaman Belanda dulu dikenal sebagai kaum politisi keraton segera menjadi “bangsawan revolusioner” yang menggunakan rumah-rumahnya untuk pertemuan politik dan dengan komandan-komandan gerilya. Di antara para bangsawan revolusioner termasuk Mr. Sumodiningrat, orang yang mungkin menjadi putra mahkota seandainya ayahnya, yaitu P. Kusumoyudo, yang diangkat menjadi pengganti Pakubuwono X. Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Surakarta pun di bentuk (setelah KNI Pusat terbentuk di Jakarta), diketuai Wuryaningrat, yang dulu dikenal sebagai politisi keraton yang Belanda. Tapi karena usia dan kesehatannya yang terganggu ia hanya sebentar memegang kedudukan itu, selanjutnya diganti Mr. Sumodiningrat. Rapat pertama KNI di bawah pimpinan Sumodiningrat diadakan pada bulan September 1945 di pendapat rumah Wuryaningrat. Pada bulan September itu juga Sumodiningrat memimpin KNI dan pemuda-pemuda melucuti senjata tentara Jepang, mengambil alih kekuasaan, dan mulai menjalankan gerakan anti kerajaan.

*Sumber : Majalah Tempo Edisi 19 Agustus १९८९


कॉपी पेस्ट दरी :

http://serbasejarah.wordpress.com/